Efektivitas Implementasi Anggaran Responsif Gender di Lingkungan Pemerintah Provinsi
“Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan” (Edward, 1980: 17). Bunyi tersebut harapannya dapat menjadi sebuah kesadaran terpatri bagi pejabat di lingkungan pemerintah provinsi untuk menjalankan kewajibannya sebagai bagian dari negara dengan tugas negara itu sendiri sebagai promotor memajukan kesejahteraan, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan berdasarkan gender yang salah satunya melalui implementasi anggaran responsif gender.
Isu kesetaraan gender telah tertuang baik dalam tujuan internasional yakni SDGs di urutan ke-5 maupun amanat nasional pada tujuan negara dalam UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kekuatan yang dibawa tiga landasan besar tersebut pun sudah terdengar seperti sebuah campaign massal yang pencapaiannya dari masa ke masa diekspetasikan mengalami peningkatan.
Namun, fakta lapangan berbicara lain. Nurhaeni (2011) menyatakan pengarusutamaan gender yang termasuk pada penganggaran, ditemui belum optimal karena birokrasi publik sebagai implementor kebijakan, justru seringkali menunjukkan nilai yang bertentangan dengan isu pembangunan responsif gender sehingga upaya inovatif dan kreatif pun tidak cukup mempunyai daya untuk menangani isu strategis ini. Terlebih isu-isu gender dalam pembangunan tak jarang masih tidak diberikan bendera sendiri dan menempati posisi marginal sebab masih kuatnya budaya patriarki yang mendominasi. Padahal, pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan pada dasarnya telah dimulai sejak adanya Instruksi Presiden No. 9 Tahun tentang pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2010-2014 yang kemudian diturunkan ke bawah sampai pada level daerah yang tertuang dalam Permendagri Nomor 67 Tahun 2011 untuk melaksanakan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG) melalui analisis gender.
Mengacu pada konsep gender yang menggambarkan peran serta relasi sosial laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, anggaran responsif gender adalah tentang pengalokasian anggaran yang berbeda ketika kebutuhan berbeda ditemui didalamnya (Sodani dan Sharma, 2008). KEMENPPPA 2004 menyatakan, hal ini dilakukan untuk menjamin keadilan dan kesetaraan baik bagi perempuan dan laki-laki dalam aspek akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pembangunan yang salah satunya dicontohkan dengan diberikannya fasilitas penitipan anak di tempat kerja karena peran dan relasi yang secara sosial dilekatkan kepada masing-masingnya tentu mempengaruhi kebutuhan “pikulan beban” secara berbeda. Dalam hal ini Elson (1998) menyatakan anggaran pada dasarnya memiliki dampak yang berbeda bagi perempuan dan laki-laki, namun anggaran tersebut kerapkali disatukan tanpa mempertimbangkan kesetaraan gender. Lalu tepatnya bagaimana? Penyusunan anggaran yang responsif gender haruslah menjawab secara adil kebutuhan dari berbagai kelompok yang berbeda, baik laki-laki maupun perempuan. Yang artinya, keseluruhan anggaran (bukan meminta tambahan anggaran, tetapi) dipetakan sesuai prosinya dengan mempertimbangkan aspek kemanfaatan bagi masing-masingnya.
Efektivitas dalam pembahasan ini mengarah pada pengertian bahwa orang benar-benar berbuat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sehingga keberhasilan dapat dicapai (Siregar, 2018). Di level provinsi, Anggaran Responsif Gender (ARG) adalah wujud dari inisiasi PPRG bagi program-program dan kegiatan pada beberapa SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah).
Di Provinsi Jawa Tengah, pemerintah daerahnya mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Tahun 2008-2013 dengan salah satu isu strategis yang ditetapkan didalamnya adalah mengenai belum terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Pada RPJMD tersebut dituliskan bahwa 30% SKPD harus melaksanakan PUG di mana pada tiap SKPD harus tersedia pula focal point gender yakni aparatur perangkat daerah yang telah sensitif gender dan mampu melaksanakan PUG dalam setiap kebijakan. Namun, sangat disayangkan hasil kajian menemukan bahwa gender focal point tidak mempunyai cukup energi untuk bisa mengintegrasikan perspektif gender dalam kebijakan SKPD karena umumnya mereka adalah staf. Sedangkan pada tahap perencanaan dan penganggaran, SDM yang terlibat adalah pejabat eselon 3, dengan temuan data yang menyatakan mayoritas level eselon 3 belum memiliki pemahaman gender sehingga rasa sensitif gender yang memberikan pengaruh dalam mengintegrasikan perspektif gender masih kosong tentu membuat kebijakan responsif gender akhirnya belum tercapai. Hal ini kemudian relevan dengan pernyataan Edward (1980) bahwa penting melihat kecenderungan-kecenderungan (tingkah laku dan perspektif) para pelaksana dan diperlukannya ketersediaan sumber-sumber termasuk fasilitas yang mengarah pada keahlian utama pelaksana itu sendiri untuk bisa menterjemahkan kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan agar dapat terealisir.
Kesamaan ditemui dalam hasil studi milik Khairawati (2011), implementasi Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah, yakni dipilih Provinsi Kalimantan Barat, menunjukkan masih belum berfungsinya gender focal point, kurangnya pemahaman para eksekutif, sistem koordinasi yang lemah, belum adanya penjabaran terkait mekanisme kerja, tidak tersedianya data terpilah dan sampai pada akhirnya secara otomatis menghasilkan tebakan bahwa anggaran responsif gender belum terwujud.
Di pulau yang berbeda, penelitian berjudul “Analisis Anggaran Responsif Gender di Provinsi Sumatera Selatan” memberikan temuan bahwa pada tahun 2014, dari jumlah 50 SKPD yang ada di Provinsi Sumatera Selatan, 21 diantaranya telah melaksanakan perencanaan anggaran yang responsif gender. Pernyataan tersebut didukung dengan hasil analisis dalam perencanaan yang diwujudkan dalam penyusunan visi misi, prioritas pembangunan daerah, arah kebijakan umum belanja daerah dan program kerja yang telah mendasar terhadap keadilan dan kesetaraan gender, dan menghasilkan nilai 0,13. Namun, angka ini hanya ditemui pada tahap perencanaan. Di tahap penganggaran, nilai yang tampak justru hanya 0,02. Nilai tersebut pun memberikan arti bahwa keberpihakan anggaran terhadap keadilan dan kesetaraan gender masihlah sangat minim. Fakta tersebut kemudian relevan dengan ungkapan Burnier (2005), “wanita hadir dan berperan, tetapi kontribusi mereka dihilangkan, dilupakan, atau dihapuskan pada saat narasi dibentuk”.
Narasi yang disajikan sampai di sini mungkin terdengar lebih berpihak pada perempuan. Tetapi, selama masih adanya kesenjangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) artinya kesetaraan gender belum tercapai, dan berdasarkan data Badan Pusat Statistik, IPM Indonesia pada tahun 2021 menunjukkan 76,25 Laki-laki dan 69,59 Perempuan.
Satu hal besar yang disoroti pada efektivitas implementasi anggaran responsif gender ini adalah political will. Pejabat tinggi tiga provinsi yang telah disebutkan di atas, telah menghadirkan political will dengan mengeluarkan kekuatan hukum sebagai suatu cara awal melanjutkan amanat yang telah ditetapkan kepadanya untuk menciptakan konsensus kolektif dan budaya kesetaraan gender di level provinsi. Namun, sebagaimana sajian data di atas pula, kita menyadari bahwa implementasi anggaran responsif gender tidaklah mudah sebab ternyata antara pembuat keputusan/kebijakan dan pelaksananya tidak serta merta berada di kapal yang sama. Kesiapan sumberdaya untuk mengimplementasikan regulasi-regulasi yang ada diharapkan juga terwadahi dalam struktur organisasi (dengan maksud transfer of knowledge) antar berbagai pihak yang tergabung dan memiliki otoritas dalam keberhasilan mengimplementasikan anggaran responsif gender.