Mengurai Benang Kusut Penanganan Pelanggaran Money Politic oleh Badan Pengawas Pemilu
Putusan Badan Pengawas Pemilu Provinsi Lampung baru-baru ini (diucapkan pada 6 Januari 2021) cukup menyentak publik. Tentunya, Putusan Bawaslu ini juga membuat pusing KPU sebagai penyelenggara pemilu. Putusan Bawaslu, yang diregistrasi dengan Nomor: 02/Reg/L/TSM-PW/08.00/XII/2020, menyatakan bahwa laporan atas pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon peserta pemilu dengan Nomor urut 3 (Eva Dwiana – Deddy Amarullah) terbukti secara sah dan meyakinkan. Pelanggaran yang dilakukan berupa menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara dan/atau Pemilih.
Dalam rezim UU Pemilu Kepala Daerah pelanggaran demikian dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi pemilihan yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif (lihat Pasal 135A ayat (1) jo. Pasal 73 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016). Akibatnya, pasangan calon yang terbukti melakukan pelanggaran dapat dijatuhi sanksi berupa pembatalan sebagai peserta pemilu (lihat Pasal 73 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016). KPU tidak diberikan pilihan terkecuali wajib untuk menindaklanjuti putusan tersebut (lihat Pasal 135A ayat (4) dan (5) UU Nomor 10 Tahun 2016).
Bagi KPU, tindak lanjut putusan Bawaslu menjadi buah simalakama. Pasalnya, KPU telah menetapkan rekapitulasi perolehan suara untuk pemilu walikota Bandar Lampung jauh sebelum putusan Bawaslu dikeluarkan yaitu pada tanggal 15 Desember 2020. Pasangan calon dengan nomor Urut 3 telah ditetapkan sebagai peserta dengan perolehan suara terbanyak. Meski, penetapan ini pun belum bersifat final. Masih ada proses gugatan penyelesaian sengketa pemilu untuk Kota Bandar Lampung yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Di sisi lain, konsentrasi penyelenggara juga menjadi terbelah untuk menindaklanjuti putusan Bawaslu yang membatalkan kepesertaan salah satu pasangan calon. Pihak yang dibatalkan kepesertaannya diberi kesempatan untuk menggugat keputusan penyelenggara ke Mahkamah Agung (lihat Pasal 135A ayat (6) s.d (9) UU Nomor 10 Tahun 2016). Bila kemudian pasangan calon yang dibatalkan kepesertaannya menggugat surat keputusan KPU ke Mahkamah Agung maka proses penyelenggaraan pemilu, khususnya untuk pemilihan Kota Bandar Lampung, menjalani tumpang tindih proses ajudikasi, di Mahkamah Agung sekaligus di Mahkamah Konstitusi.
Pelanggaran pemilu berupa iming-iming materi untuk mempengaruhi pemilih dan penyelenggara merupakan tindak pidana yang perlu diberi sanksi keras. Segala bentuk kecurangan berarti menafikan prinsip pemilu yang diselenggarakan berdasarkan kompetisi yang jujur. Akan tetapi, dalam rangka menjatuhkan hukuman atas pelanggaran yang dilakukan peserta pemilu pun harus disusun berdasarkan prosedur yang jelas dan tidak menimbulkan kesimpangsiuran. Tumpang tindihnya proses tindak lanjut pelanggaran pemilu juga harus mengindahkan prinsip pemilu lainnya, yaitu adil yang dicerminkan dengan adanya due process dalam penanganan segala pelanggaran pemilu.
Fenomena yang terjadi pada pemilihan Kota Bandar Lampung membuat para pihak yang terlibat dengan penyusunan prosedur dan tahapan pemilu perlu berfikir ulang untuk merekonstruksi kebijakannya. Diantara hal yang paling mendasar adalah soal karakter pelanggaran money politic dan lingkup kewenangan Bawaslu dalam menjatuhkan putusan. Tulisan singkat ini akan menitikberatkan pada kedua perihal tersebut.
Money Politic: Pelanggaran Administrasi Ataukah Tindak Pidana Pemilu?
Perhatian untuk mengatur mengenai pelanggaran berupa pemberian uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pilihan pemilih telah ada sejak dikeluarkannya UU Nomor 1 Tahun 2015, khususnya pada Pasal 73. Namun, pengaturan yang lebih ekstensif diatur pada UU Nomor 10 Tahun 2016 yang merupakan perubahan kedua dari UU Nomor 1 Tahun 2015. Persoalannya, perubahan pengaturan mengenai pelanggaran tersebut mengacaukan kategorisasi dari pelanggaran yang diatur pada Pasal 73.
UU Nomor 10 Tahun 2016 mengelompokkan pelanggaran dalam Pasal 73 sebagai (i) pelanggaran administrasi (lihat Pasal 135 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016) sekaligus juga merupakan (ii) tindak pidana (lihat Pasal 187A ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016). Pengelompokkan pelanggaran money politic dalam kedua kategori ini menimbulkan berkelindannya proses penanganannya.
Sanksi administratif berupa pembatalan kepesertaan dalam pemilihan merupakan konsekuensi yang wajar bilamana sebuah perbuatan termasuk dalam pelanggaran yang bersifat administratif. Akan tetapi, money politic memiliki karakteristik sebagai sebuah tindak pidana sehingga proses pemeriksaannya pun harus menaati aspek-aspek hukum acara pidana. UU Nomor 10 Tahun 2016 menitikberatkan proses penyelesaian pelanggaran money politic dari sisi pelanggaran administratif dan tidak secara lugas mengatur penyelesaiannya dalam kelompok tindak pidana. Pasal 135A UU Nomor 10 Tahun 2016 mengatur secara terperinci tahapan penindakan money politic sebagai pelanggaran administratif. Sementara, dalam kaitannya dengan tindak pidana, UU hanya menyebut bahwa sanksi administratif tidak menggugurkan sanksi pidana (lihat Pasal 73 ayat (5) UU 10 Tahun 2016).
Berkebalikan dengan itu, konstruksi yang dibangun dalam UU sebelumnya (UU Nomor 1 Tahun 2015) adalah mendahulukan proses pemeriksaan pengadilan baru kemudian menjatuhkan sanksi administratif. Disebutkan bahwa “… Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai calon…” (lihat Pasal 73 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2015).
Persoalan administratif memiliki kacamata yang berbeda dengan masalah pidana, salah satunya sebagai contoh, adalah dalam penentuan pelaku. Kasus yang terjadi dalam pemilihan Walikota Bandar Lampung merupakan hal yang menarik untuk dijadikan wacana diskusi. Laporan pelanggaran yang diajukan kepada Bawaslu menuding bahwa pasangan calon memanfaatkan APBD untuk digunakan sebagai modal kampanye. Walikota Bandar Lampung saat ini merupakan suami dari Eva Dwiana (salah satu pasangan calon nomor urut 3). Dalam perspektif hukum pidana maka apakah Eva Dwiana bisa disebut pelaku pelanggaran money politic ataukah pidana justru dijatuhkan kepada walikota yang saat ini menjabat karena telah menyalahgunakan kekuasaannya. Selain itu, UU juga menyebutkan beragam pelaku yaitu pasangan calon, tim kampanye atau relawan. Bila mencermati putusan Bawaslu maka tidak disebutkan secara rinci dalam pertimbangannya apakah pelanggaran-pelanggaran yang dituduhkan itu dilakukan oleh pasangan calon, tim kampanye ataupun relawan. Bila kemudian pelanggaran itu mengarah pada pasangan calon maka sanksi pembatalan dapat dijatuhkan. Akan tetapi bila pelanggaran dilakukan oleh tim kampanye atau relawan maka apakah juga dijatuhkan sanksi pembatalan?
Dalam putusan Bawaslu disebutkan bahwa dalam beberapa kejadian telah terbukti, menurut Majelis Pemeriksa, bahwa Walikota aktif memberikan bantuan dalam rangka pemenangan pasangan calon nomor urut 3, yang salah satunya adalah istrinya. Dalam kacamata pidana maka Walikota aktif bisa digolongkan sebagai “tim kampanye” tetapi tidak bisa disebut sebagai pasangan calon. Lalu apakah sanksi pembatalan tetap dapat dijatuhkan, padahal pelakunya bukan merupakan pasangan calon secara langsung?
Persoalan yang perlu diselesaikan oleh pembentuk kebijakan di masa yang akan datang adalah menentukan secara tegas karakteristik pelanggaran money politic serta mekanisme penyelesaiannya agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran.
Putusan Bawaslu
Hal berbeda yang diperkenalkan oleh UU Nomor 10 Tahun 2016 adalah bahwa Bawaslu sebagai lembaga penyelesaian sengketa pemilu tidak hanya mengeluarkan rekomendasi tetapi juga “Putusan”. Istilah yang digunakan dalam UU sebelumnya adalah “keputusan”. Penggunaan istilah “Putusan” sebagai nomenklatur produk yang dihasilkan sebuah lembaga bagian dari penyelenggara pemilu meneguhkan posisi Bawaslu sebagai penyelesai sengketa. Putusan (vonnis) merupakan produk lembaga ajudikasi sementara keputusan (beschikking) merupakan produk dari lembaga pemerintah.
Meskipun disebut sebagai lembaga ajudikasi, tetapi Bawaslu bukanlah bagian dari kekuasaan kehakiman. Penyelesaian sengketa (adjudication) dapat melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan. Arbitrase dan mediasi adalah jenis ajudikasi diluar pengadilan. Yang dilakukan Bawaslu adalah upaya penyelesaian sengketa pemilu di luar pengadilan. Seperti halnya juga yang dilakukan oleh Komnas HAM dalam yang penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan urusan pelanggaran hak asasi yang dilakukan dengan mediasi. Sayangnya dalam kosa kata Bahasa Indonesia, istilah putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan tidak dibedakan dengan lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dalam bahasa Inggris, putusan pengadilan bisa disebut dengan decision, ruling atau judgment. Sementara, putusan lembaga arbitrase atau mediasi disebut dengan award.
Putusan Bawaslu adalah dalam karakteristik sebagai lembaga penyelesai sengketa di luar pengadilan. Dengan kata lain, meskipun mengeluarkan putusan tetapi Bawaslu bukanlah lembaga kekuasaan kehakiman yang tunduk dengan hukum acara pengadilan. Hal ini penting untuk ditegaskan sebab ketidakmampuan untuk membuat garis batas seringkali menyebabkan kesalahpahaman. Salah satunya adalah dalam menangani persoalan money politic. Bila membaca tata cara penanganan pelanggaran money politic, sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2020 maka nuansa peradilan lebih kental dibanding penyelesaian sengketa yang bercirikan arbitrase.
Pekerjaan ini menjadi kewenangan Bawaslu sebagai tindak lanjut ketika pembentuk kebijakan telah menetapkan karakter penyelesaian sengketa pemilu dalam pelanggaran yang bernuansa terstruktur, sistematis dan masif.
Namun sebelum mempertimbangkan untuk mengubah kebijakan mengenai penanganan pelanggaran ini, ada persoalan di depan mata yang perlu segera dituntaskan yaitu mengurai benang kusut pelanggaran pemilu yang terjadi dalam pemilihan Walikota Bandar Lampung.
Mahasiswa Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas