Analisis Putusan MA No. 08/Pdt.G/2019/PNSby. Tentang Gugatan Pencemaran DAS Brantas Berdasarkan Pertimbangan Majelis Hakim, Hukum Lingkungan dan Hukum Tata Usaha Negara
Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang merupakan wilayah sungai strategis nasional dan menjadi dasar informasi mengenai kualitas air saat ini tercemar. Indeks Kualitas Air (IKA) Sungai Brantas pada tahun 2017 sebesar 47,48 atau berada di bawah Standar Baku Mutu Kualitas Air (PP No. 82 Tahun 2001). Dari hasil pemantauan Sungai Brantas pada tahun 2020 diperoleh nilai IKA sebesar 48,77, yang berarti kedua sungai tersebut dalam kondisi tercemar atau menunjukkan kualitas air rendah. Hal ini dilihat dari parameter Biochemical Oxygen Demand (BOD) 6,75 mg/liter, fosfat 0,302 mg/l, fecal coliform 2,373.88 mg/l, deterjen 32,98 mg/l, dan total Coliform 25,424.48 mg/l. Masifnya pencemaran DAS Brantas dan rendahnya kualitas air merupakan suatu permasalahan yang juga dialami beberapa negara berkembang. Dalam konteks pemulihan sungai, masyarakat yang terdampak atau organisasi lingkungan hidup melakukan tindakan hukum berupa pengajuan gugatan. Gugatan ini menyasar lembaga eksekutif agar bertanggung jawab untuk melakukan tindakan sesuai amanat yang diembannya dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dan penegakan hukum administratif, sehingga dalam pengelolaan lingkungan hidup berpedoman pada hukum administratif yang berlaku sesuai undang-undang yang telah ditentukan.
Penegakan hukum lingkungan administratif dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu secara preventif dan represif. Penegakan hukum administratif yang bersifat preventif dilakukan melalui pengawasan, sedangkan penegakan hukum yang represif dilakukan melalui penerapan sanksi administratif. Pengawasan dan penerapan sanksi administratif tersebut bertujuan untuk mencapai ketaatan masyarakat terhadap norma hukum lingkungan administratif. Konsep kebijakan pengawasan pengelolaan lingkungan dalam konteks UUPPLH perlu diatur secara komprehensif yang meliputi pengawasan, pencatatan dan pelaporan hasil secara mandiri ke instansi terkait yang bersifat terbuka bagi masyarakat; pengawasan utama oleh inspektur dari instansi pemberi izin; pengawasan kedua dari instansi provinsi atau pemerintah pusat apabila instansi pertama gagal menjalankan fungsi pengawasannya berupa pengawasan eksternal atau pengawasan publik. Tentu saja untuk mengefektifkan pengawasan diperlukan strategi penghukuman yang tepat mulai dari pemberlakuan sanksi administratif ringan sampai pencabutan izin.
Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menganalisis putusan Mahkamah Agung (MA) No. 08/Pdt.G/2019/PNSby berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim, hukum lingkungan, dan hukum tata usaha negara. Putusan tersebut bermula dari gugatan pencemaran DAS Brantas yang diajukan Ecoton dengan nomor perkara 08/Pdt.G/2019/PN Sby. Dalam putusan tersebut, pertimbangan Majelis Hakim terhadap bukti-bukti yang diajukan oleh Tergugat I adalah (1) bahwa dikarenakan bukti-bukti yang diajukan Tergugat I merupakan norma hukum yang berdasarkan teori fiksi hukum bahwa semua orang patut dianggap mengetahui adanya ketentuan tersebut, maka berlaku asas novum notoir –sesuatu yang telah diketahui umum tidak perlu dibuktikan lagi; (2) Hasil Penulisan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Fakultas Geografi UGM tentang Daya Tampung dan Alokasi Beban Pencemaran Sungai Brantas, Keputusan Menteri LHK Nomor SK.316/Menlhk/Setjen/KUM.1/7/2018 Tentang Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air dan Alokasi Beban Pencemaran Air Sungai Brantas membuktikan bahwa kondisi lingkungan pada saat dilakukan penulisan adalah tidak statis, tetapi berubah dengan cepat. Artinya, kesulitan pembuktian pencemaran lingkungan tidak tergantung pada analisa dari hasil penulisan yang dilakukan secara random ataupun sporadis karena evidence dari suatu kejahatan lingkungan khususnya pencemaran akan mengalami perubahan yang drastis dan hal itu hanya dapat dibuktikan dengan akibat yang ditimbulkan terhadap ekosistem alam seperti matinya biota air dan yang menonjol dalam kasus a quo adalah matinya ikan. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No. P.22/MENLHK/SETJEN//SET.1/3/2017 tentang Tata Cara Pengelolaan Pengaduan Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup dan/atau Perusakan Hutan. Bukti-bukti yang disampaikan oleh Tergugat I hanya berpedoman pada retorika semata dengan merujuk pada aturan tanpa membuktikan implementasinya, baik sebagai tindakan preventif maupun represif. Alhasil, berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka, menurut Majelis Hakim, Tergugat I tidak dapat membuktikan sebaliknya melalui pembuktian yang bersifat tegen bewijs terhadap dalil-dalil dan pembuktian Penggugat.
Bukti-bukti oleh Tergugat II yang menjadi bahan pertimbangan Majelis Hakim adalah (1) Bukti-bukti yang berkaitan dengan produk legislasi maupun regulasi yang akan dipertimbangkan sepanjang relevan dan ada korelasi dengan matinya ikan di kali Brantas yang dimintakan pertanggung jawaban Tergugat-Tergugat dalam perkara a quo; dan (2) Joint Declaration Brantas River Consortium tanggal 1 Maret 2019, serta bukti-bukti lainnya meliputi Publikasi Data Pemantauan Kualitas Air Tahun 2018, Publikasi Data Pemantauan Kualitas Air Mei 2019, Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat, Buletin BBWS Brantas Januari-April 2017, Laporan Kegiatan Hari Air Dunia 2017 dan Peresmian Taman Klibuk Kawasan Lindung Bantaran Sungai Brantas Hilir, serta Patroli Air Terpadu Kali Surabaya Juli-Desember 2018. Bukti tersebut berkaitan dengan data semata sedangkan data adanya kondisi ikan mati dan penanganannya tidak ditindaklanjuti. Bukti-bukti tersebut pun hanya menjadi bukti formalitas kegiatan yang tidak berkaitan dengan dalil gugatan Penggugat tentang adanya ikan mati di Kali Brantas sejak tahun 2011 sampai dengan 2019 yang tidak ada tindakan represif terhadap pelaku pencemaran air di sekitar DAS Kali Brantas. Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2015-2019 dan Konsep Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2020-2024, dimana bukti tersebut merupakan konsep yang implementasinya harus terepresentasi terhadap ekologi/ekosistem wilayah DAS Kali Brantas yang ternyata masih saja ada ikan mati di kali tersebut. Dari bukti-bukti tersebut tidak ada satu bukti pun yang membuktikan sebaliknya tentang matinya ikan secara massal di DAS Kali Brantas tidak disebabkan oleh pencemaran air di DAS Kali Brantas oleh pelaku usaha yang berada dalam tanggung jawab pengawasan Tergugat-Tergugat. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka menurut Majelis Hakim, Tergugat II tidak dapat membuktikan sebaiknya terhadap dalil-dalil gugatan Penggugat.
Setelah mencermati pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim terhadap gugatan penggugat, penulis sepakat terhadap seluruh dalil-dalil dan bukti-bukti yang telah menjadi pertimbangan hakim. Fakta terjadinya pencemaran dan penurunan kualitas air DAS Brantas yang sudah terjadi bertahun-tahun tidak memperoleh tindakan yang signifikan dari lembaga eksekutif meskipun peraturan dan perundang-undangan sudah ada, bahkan sudah sampai pada penetapan standar atau ambang batas kualitas air yang diijinkan. Masyarakat yang dirugikan selama ini telah menanggung dampak pencemaran dan mungkin akan terus berlangsung sampai waktu yang tidak dapat dipastikan. Oleh karena itu, dinilai tepat jika Majelis Hakim menerima dan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian, menyatakan bahwa para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, memerintahkan para tergugat untuk meminta maaf kepada masyarakat di 15 kota/kabupaten yang dilalui Sungai Brantas atas lalainya pengelolaan dan pengawasan yang menimbulkan ikan mati massal di setiap tahunnya, serta memerintahkan para tergugat untuk memasukkan program pemulihan kualitas air sungai brantas dalam APBN 2020.
Menteri Lingkungan Hidup dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha/kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. Pengawasan dilakukan untuk mengetahui tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan serta izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan Hidup.
Pelanggaran terhadap izin lingkungan adalah pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang karena tidak memiliki izin lingkungan; tidak memiliki dokumen lingkungan; tidak menaati ketentuan yang dipersyaratkan dalam izin lingkungan, termasuk tidak mengajukan permohonan untuk izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tahap operasional; tidak menaati kewajiban dan/atau perintah sebagaimana tercantum dalam izin lingkungan; tidak melakukan perubahan izin lingkungan ketika terjadi perubahan sesuai Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan; tidak membuat dan menyerahkan laporan pelaksanaan terhadap pelaksanaan persyaratan dan kewajiban lingkungan hidup; atau tidak menyediakan dana jaminan.
Izin perlindungan dan pengelolaan mencakup (1) Izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (yang meliputi (a) Izin penyimpanan limbah B3; (b) Izin pengumpulan limbah B3; (c) Izin pemanfaatan limbah B3; (d) Izin pengelolaan limbah B3; (e) Izin penimbunan limbah B3); (2) Izin dumping ke laut; (3) Izin pembuangan air limbah; (4) Izin pembuangan air limbah ke laut; (5) Izin pembuangan air limbah melalui injeksi dan; (6) Izin pembuangan emisi ke udara. Pelanggaran terhadap izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang karena tidak memiliki izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; tidak memiliki izin lingkungan; tidak memiliki dokumen lingkungan; tidak menaati persyaratan izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; tidak menaati kewajiban dan/atau perintah sebagaimana tercantum dalam izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan/atau; tidak membuat dan menyerahkan laporan pelaksanaan terhadap pelaksanaan persyaratan dan kewajiban lingkungan hidup.
Pasal 74 UUPPLH 2009 mengatur bahwa pejabat pengawas lingkungan hidup berwenang untuk (a) melakukan pemantauan; (b) meminta keterangan; (c) membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan; (d) memasuki tempat tertentu; (e) memotret; (f) membuat rekaman audio visual; (g) mengambil sampel; (h) memeriksa peralatan; (i) memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi dan/atau; (j) menghentikan pelanggaran tertentu. Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup.
Berdasarkan hasil penulisan artikel ini, dapat disimpulkan bahwa:
- Penduduk dan industri berkontribusi terhadap kerusakan yang ada, terlebih pada penggunaan bahan berbahaya dan beracun dan bahan kimia lainnya.
- Pengelolaan DAS Brantas yang tercemar sangat kontradiktif dengan kinerja pemerintah Indonesia baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Meskipun sudah ada putusan MA mengenai pencemaran DAS Brantas, namun pemerintah hingga saat ini belum memiliki rencana yang menyeluruh dan kemampuan politik yang serius untuk memulihkan DAS Brantas yang tercemar.
- Pendekatan pencegahan dalam penggunaan bahan kimia berbahaya dibutuhkan atau sekurang-kurangnya mengedepankan prinsip kehati-hatian sebagai upaya yang harus dipertimbangkan sejak awal.
- Amdal menjadi salah satu persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan dan bagian dari upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan sebagai rujukan dalam melakukan pengawasan.
Magister Sains Hukum Pembangunan Universitas Airlangga
Surel: [email protected]