Pengamatan & Debat

Anggaran Menegakkan Keadilan

Kata “keadilan” sudah demikian akrab dalam kehidupan kita. Bukan hanya kalangan pembelajar yang fasih mengucapkan keadilan, tetapi masyarakat awam pun lancar mengucapkannya. Bahkan kata ini seiing digunakan sebagai “instrumen” saat seseorang atau sekelompok orang menggelar unjuk rasa.
Secara teoritis, kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice”, yang dalam bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda, pertama, secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya justness), kedua, sebagai tindakan, berarti menjalankan hukum atau tindakan yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman (persamannya judicature), dan ketiga, orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum suatu perkara dibawa ke pengadilan, yang sinonimnya judge, jurist, magistrate.
Kata “keadilan” itu ternyata sudah berusia lama, terbukti sudah demikian banyaknya filosof, ahli hukum, dan kalangan profesional yang menyebutkan dan memperjuangkannya. Mereka jadikan kata “keadilan” sebagai dalil atau tujuan untuk merepresentasi hajat yang berupaya diwujudkan.
Filosof Plato bahkan sampai menyebut, bahwa yang memimpin negara seharusnya manusia super, yaitu the king of philosopher, atau seseorang dari kalangan filosof yang nota bene dianggap paling paham soal esensi keadilan. Plato terbaca sangat meyakini kalau para filosof merupakan kekuatan istimewa yang mampu menyebarkan “aroma membahagiakan” terhadap kehidupan rakyat.
Secara a cotrario, kalau bukan dari filosof yang memimpin Negara, maka dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat itu, akan banyak dijumpai prakik-praktk ketidakadilan. Supremasi bernegaranya bukan supremasi yuridis yang berbasis keadilan, melainkan supremasi kepentingan yang menempatkan hukum sebagai instrumennya semata.
Kalau dipahami dalam konteks kekinian, maka yang diinginkan Plato sejatinya merupakan “obsesi” tentang bagaimana kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini yang penyelenggaraannya sarat dengan penegakan keadilan.
Alkisah, salah seorang gubernur menulis surat kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk meminta dana yang cukup besar guna membangun benteng di sekeliling ibukota. Khalifah membalas suratnya. Kata khalifah dalam suratnya “apa manfaatnya membangun benteng? Bentengilah ibukota dengan keadilan, dan bersihkan jalan-jalannya dari kezaliman.
Isi jawaban surat yang ditulis oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz sangat luar biasa. Khalifah memberikan peringatan keras kepada gubernur dalam soal manajemen kepemimpinan atau poa membangun pemerintahan yang berbasis komitmen kerakyatan. Khalifah tidak membolehkan gubernurnya memperlakukan (mengalahkan) rakyat dibawah kepentingan pembangunan fisik.
Khalifah Umar memang dikenal oleh dunia sebagai salah satu pemimpin Islam yang memimpin dengan “bahasa” keadilan atau keberpihakan sejati pada kemasalahatan umat. Kalau nanti produk Pilkada serentak 2020 ini menghasilkan sosok pemimpin daerah minimal seperti Khalifah Umar, maka bukan hanya KPK yang akan kesulitan menemukan koruptor elitis (sebagai dampak bersihnya pemerintahan), tetapi masyarakat di daerah pun akan bisa menikmati kesejahteraan berlimpah.
Umat (rakyat) benar-benar ditempatkan dalam status istimewa dan strategis dibandingkan kepentingan lainnya. Kepentingan fisik pembangunan tidak boleh mengalahkan atau menomorduakan kepentingan riil masyarakat.
Hajat asasi rakyat diposisikan “selalu” dalam ranah atau frame dan perwujudan kepemimpinannya. Ia “selalu” menanyakan pada rakyat tentang apa saja yang belum terpenuhi atau menjadi beban dalam kehdupannya.
Proyek membangun benteng yang direncanakan oleh Gubernur yang menyedot anggaran besar ditolak oleh Umarr. Penolakan ini tentulah sudah dipikirkan atau dikalkulasi dengan matang oleh khalifah, bahwa antara anggaran yang dikeluarkan dengan proyeksi kepentingannya masih lebih dominan “memubadzirkan” anggaran dibandingkan dengan keuntungannya kepada publik.
Itu artinya keadilan merupakan benteng sejati dalam membangun pemerintahan yang kuat: bersih (dari korupsi) dan berwibawa. Tanpa keadilan, berarti pemerintahan rapuh, dan salah satu dampak kerapuhan ini adalah bersemainya dan berdaulatnya korupsi. Umar tidak menginginkan konstruksi pemerintahannya rapuh akibat membuat kebijakan pembangunan yang “menyakiti” (merampok) kepentingan asasi rakyat.
Kalau alasannya, benteng dibangun untuk mencegah dan dan menghalangi penyakit dari luar, maka khalifah berpikiran lain, bahwa penyakit internal atau yang berasal dari diri, bangsa, atau negara sendiri jauh lebih berat, membahayakan, dan lebih destruktif dibandingkan serangan dari luar. Katakanlah sebelum pandemic Covid-19 menghegemoni masyarakat negeri ini, banyak virus seperti virus bernama korupsi yang sudah mengganas. “Membuninya” virus penyimpangan kekuasaan inilah yang membuat siapapun yang memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus dieksaminasi, apalagi kalau pola kepemimpinanya terbaca “kurang bersemangat” dalam mewujudkan politik penanggulangan korupsi secara egalitarian.
Masih dalam ranah komparasi atas kebijakan khalifah Umar diatas, jika dengan uang besar yang dikeluarkan untuk membangun benteng justru menjadikan rakyat kekurangan sumber pendapatan, berkurang hak kesejahteraan, atau berbagai bentuk penyakit sosial seperti kemiskinan dan kefakiran atau ketidakberdayaan lainnya tidak bisa ditanggulangi dan dieliminasi, maka hal inilah yang disebut pembenaran kebijakan yang tidak populis atau produk kebijakan yang lebih memihak kepentingan eksklusifitas dan “elitisme” pembangunan, sementara kemaslahatan (keadilan sosial) “wong alit” dipinggirkan.
Selain itu, khalifah menunjukkan kebijakan pembangunan yang bersentuhan langsung dengan realitas kebutuhan rakyat, yakni menolak pemborosan anggaran untuk pembangunan yang kurang membumi atau “mencerahkan” kehidupan umat. Upaya membangun benteng dengan anggaran besar bisa dikategorikan menyakiti rakyat, manakala rakyat sedang menghadapi kesulitan lain yang sebenarnya kesulitan ini bisa dibebaskan dari anggaran dimaksud.
Khalifah memerintahkan gubernur (pemimpin daerahnya) untuk lebih melihat dan membaca realitas konkrit, bahwa apa yang dibutuhkan oleh rakyat sebenarnya bukan pembangunan benteng, tetapi keadilan dan bebasnya rakyat dari berbagai bentuk virus riil yang mengidapnya.
Kemiskinan dan beragam kesulitan dalam memperoleh sumber pendapatan memadai yang menimpa rakyat seharusnya menjadi tantangan utama yang wajib dijawab oleh setiap pemimpin pemerintahan, dan bukan sebaliknya pemimpin pemerintahan yang mendisain dirinya sebagai “virus”, yang melebihi kuanitas dan kualitas virus apapun di tengah masyarakat.
Benteng sejati akan bisa dibangun dan diberdayakan oleh, dari dan untuk rakyat, jika benteng ini bernama keadilan sosial, pembebasan hajat rakyat dari kesulitan ekonomi, dan pemberdayaan kesejahteraan atau keadilan multi sektor.
Kalau rakyat hidupnya sejahtera, hak pangan, hak kesehatan, hak keberlanjutam hidup, dan hak-hak konstitusionalitas maupun non konstitusionalitasnya terjamin, maka setidaknya realitas kondisi kehidupan rakyat demikian ini identik dengan kesejatian kekuatan “benteng” konstruksi bermasyarakat dan bernegara.
Mereka itu akan menjadi elemen bernegara atau pilar fundamental dalam bangunan sosial yang kokoh jika berhasil dirajut menjadi kekuatan yang memilarinya, yang bersama-sama merasakan (menikmati) keadilan. Jika mereka dieliminasi atau “disingkirkan” dari perlakuan yang berkeadilan, maka hidupnya niscaya akrab dengan keprihatinan dan ketidakmanusiawian.
Bangunan sosial tersebut merupakan cermin rill kehidupan kebernegaraan. Konstruksinya akan tetap kuat, menjad lebih terjaga, dan berlanjut memberikan perlindungan yang mendamaikan jika setiap elemen bernegara ini menunjukkan perannya sebagai subyek aktif yang giat “merias” (mengubah) kehidupan masyarakat dengan keadilan.
Elemen utama bernegara ini adalah pemimpin (penguasa). Setiap pemimpin negeri ini dituntut untuk selalu membaca dan menerjemahkan realitas konkrit kebutuhan “anggaran keadilan” untuk umatnya. “Pembacaan” atau “penerjemahaman realitas problem rakyat, apalagi efek dari pandemic Covid-19 harus ditindaklanjuti dengan gerakan nyata mewujudkan keadilan dimana-mana dan dengan siapa saja, tanpa tebang pilih kepentingan apa atau golongan siapa yang diurus (direalisasikan).

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang
Email : abdulwahid@unisma.ac.id

Related Articles

Back to top button