Lunaknya Izin Penambangan Merusak Gunung Sakral
Gunung Penanggungan atau Gunung Pawitra merupakan yang berada di Jawa Timur, Indonesia, berada di perbatasan Kabupaten Mojokerto (sisi barat) dan Kabupaten Pasuruan (sisi timur). Gunung Penanggungan merupakan gunung kecil yang berada pada satu kluster dengan Gunung Arjuno dan Gunung Welirang yang jauh lebih besar. Meskipun kecil, gunung ini memiliki keunikan dari sisi kesejarahan dimana permukaannya mulai dari kaki sampai mendekati puncak, dipenuhi banyak situs kepurbakalaan yang dibangun pada periode Hindu-Buddha dalam sejarah Indonesia. Gunung Penanggungan dipandang sebagai gunung keramat, suci, dan merupakan jelmaan Mahameru, gunungnya para dewa. Hal tersebut juga terkait dengan tata letak Gunung Penanggungan yang unik. Dalam kitab Tantu Panggelaran tahun Saka 1557 atau 1635 M dinyatakan bahwa para dewa menyetujui bahwa manusia dapat berkembang di Pulau Jawa meskipun pulau itu tidak stabil, untuk menstabilkan kondisi Pulau Jawa para dewa memindahkan Gunung Mahameru dari Jambudwipa ke Jawadwipa. Dalam perjalanan kepindahan tersebut, sebagian Mahameru berjatuhan dan menjadi gunung yang ada di Pulau Jawa dari barat ke timur sedangkan puncak Mahameru dihempaskan oleh para dewa menjadi Gunung Penanggungan, oleh karena itu, Penanggungan menjadi gunung yang sakral dalam pemikiran Jawa masa Hindu-Buddha, sampai sekarang masih banyak masyarakat Hindu-Budha jawa dan masyarakat Jawa yang sering mengunjungi gunung Penanggungan untuk bersemedi dan beribadah.
Meskipun gunung Penanggungan memiliki aspek budaya dan historis pemerintah kurang konsisten dalam menerapkan regulasi mengenai pengelolaan sumber daya alam beserta segala aspek budaya dan historisnya, sebab adanya realita penambangan pasir di lereng Gunung Penanggungan Desa Kunjorowesi, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto yang dimana tanah lereng gunung rusak parah. Penggalian pasir tersebut dilakukan setidaknya oleh 4 perusahaan besar, yaitu oleh CV Barokah dan Koperasi Amanatul Ummah di Desa Kunjorowesi, kedua perusahaan ini memiliki izin usaha pertambangan operasi produksi batu hingga 2019, kemudian PT Karya Citra Mitra Sejati dan Geo Lava yang meliputi beberapa desa di Kecamatan Ngoro, kedua perusahaan besar itu mendapat izin resmi dari Pemprov Jawa Timur dan Pemkab Mojokerto hingga tahun 2022 untuk melakukan penambangan di lereng Penanggungan seluas 664 hektar. Lunaknya izin usaha pertambangan operasi produksi batu yang dikeluarkan pemerintah mengakibatkan kerusakan alam di lereng Gunung Penanggungan, 707,7 hektar lahan berubah menjadi kawah raksasa.
Pengerukan batu dan pasir di lereng penanggungan sangat memprihatinkan sebab bukan hanya rusaknya lingkungan akibat pengerukan sumber daya alam yang tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan tetapi juga prihatin sebab juga merusak aspek historis dari gunung penanggungan, mengutip Pakar Geologi ITS, Dr Ir Amien Widodo MSi mengatakan bahwa “sampai sekarang masih banyak candi yang belum teridentifikasi dengan baik sehingga sejarahnya pun belum tersusun oleh karena itu, dengan adanya penambangan yang terus dilakukan dikhawatirkan akan ada situs sejarah yang rusak atau pun hilang, apabila penambangan sirtu dan batu andesit tidak dibatasi, maka akan menimbulkan masalah baru yakni memicu terjadinya erosi dan longsor. Hal tersebut disebabkan karena pemotongan lereng bagian bawah akan memperbesar sudut kemiringan lereng total sehingga lapisan tanah di atasnya menjadi kritis. Sedangkan permukiman penduduk dan situs-situs sejarah berada di lapisan tanah tersebut, jika terjadi longsor maka pemukiman dan situs tersebut akan ikut jatuh”. Dapat disimpulkan jika penambangan pasir bukan hanya beresiko merusak Lingkungan tapi juga juga aspek historis, serta mengingat Gunung Penanggungan yang merupakan gunung sakral bagi masyarakat Hindu-Budha jawa dan masyarakat adat Jawa khususnya yang berada di sekitar Mojokerto, akibat dari kerusakan lereng Gunung Penanggungan juga merusak aspek budaya dan spiritual.
Penggalian batu dan pasir di gunung penanggungan jelas mengabaikan UU No. 32
Tahun 2009 Pasal 1 Ayat (2) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang saat itu masih berlaku ketika surat perizinan diberikan pada pengelola tambang yakni sebelum tahun 2020, padahal menurut UU no 32 tahun 2009 pasal 1 ayat
(2) tersebut berbunyi demikian “upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum” sehingga seharusnya cukup ketat untuk meregulasi tambang pasir dan batu di Gunung Penanggungan. Terutama saat ini perizinan lingkungan hidup jauh lebih mudah akibat UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH di amandemen oleh UU No 11/2020 yang mana UU Cipta Kerja menghapus ketentuan pasal 26 ayat (2) UU PPLH yang menyebutkan bahwa pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan. Pasal 26 ayat(4) yang semula mengatur bahwa masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal, juga dihapuskan. Sehingga dikhawatirkan jika melalui penerapan UU No 11/2020 penggalian gunung Penanggungan akan terus berlangsung bahkan lebih parah dari sebelumnya akibat semakin minimnya peran masyarakat dalam memberikan keberatan terkait pengerukan gunung penanggungan. Dapat disimpulkan jika izin penambangan di gunung Penanggungan dapat semakin longgar sehingga membahayakan lingkungan hidup beserta segala aspek historis dan budaya yang terkandung.
Merujuk Undang-Undang no.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 1 ayat 1 : Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan, serta mengingat kebergantungan agama dan budaya masyarakat Hndu-Budha jawa dan masyarakat adat Jawa terhadap gunung sakral Penanggungan yang mana sudah diatur oleh pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai- nilai budayanya” sehingga kebudayaan Indonesia perlu dihayati oleh seluruh warga negara. Oleh karena itu, kebudayaan Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa harus dilestarikan guna memperkukuh jati diri bangsa, mempertinggi harkat dan martabat bangsa, serta memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita-cita bangsa pada masa depan. Maka sudah sepatutnya jika kegiatan pertambangan harus dihentikan akibat dari kerusakan lingkungan, kerusakan aspek budaya dan historis dari gunung Penanggungan, jika pertambangan tidak dihentikan maka UU No.11 tahun 2010 dan juga UUD pasal 32 ayat (1) 1945 hanya sekedar Abang-Abang Lambe (artinya;Omong Kosong)?, jika memang demikian bahaya perusakan lingkungan dan cagar budaya beserta segala aspek yang terkandung di dalamnya bukan hanya mengancam gunung Penanggungan saja tapi juga cagar budaya lainya.
Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
bagas.hega.samu-2021@pasca.unair.ac.id