KPK minim Prestasi dibawah Kepemimpinan Firly Bahuri
Selama kurun waktu 2 tahun, KPK lebih banyak mendapat sorotan karena sejumlah kontroversi di internalnya, yang bahkan melibatkan para pimpinan. Alih-alih bisa menunjukkan prestasi, baik Firli Bahuri, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango, Alexander Marwata dan Nurul Ghufron justru banyak memperlihatkan kontroversi di tengah masyarakat. Kalimat tersbeut disampaikanlangsung oleh Zaenur Rahman yang merupakan Peneliti Pusat Antikorupsi/PUKAT UGM. Kontroversi di KPK, usai dilemahkan lewat revisi Undang-Undang KPK perlahan muncul ke permukaan. Mulai dari dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Firli Bahuri yang bergaya hidup mewah, menggunakan helikopter, dan pelanggaran etik komisioner KPK Lili Pintauli Siregar, dengan berhubungan dengan pihak yang berperkara.
Puncak kontroversinya, pemecatan 57 pegawai KPK dengan dalih tidak lolos tes wawasan kebangsaan atau TWK. PUKAT UGM bersama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) mengeluarkan sejumlah catatannya dari hasil pemantauan dua tahun kepemimpinan Firli Cs.
Pertama, ketidakjelasan arah politik hukum pemberantasan korupsi. Menurut mereka, sejak tahun 2019, pemberantasan korupsi tampaknya tidak dijadikan agenda prioritas oleh pemerintah. Pemberantasan malah lebih diarahkan kepada sektor pencegahan. Itu pun didominasi oleh jargon tanpa menginisiasi suatu program sistemik yang berdampak signifikan untuk membawa perubahan.
Kedua, implikasi revisi UU KPK. Kata Zaenur, dampak perubahan regulasi di KPK sudah dapat dirasakan setidaknya dalam dua tahun terakhir ini. Substansi UU 19/2019 pada faktanya memang ditujukan untuk mengendurkan tugas KPK dalam memberantas korupsi. Mulai dari merobohkan independensi kelembagaan menjadi bagian dari rumpun eksekutif, menghentikan penyidikan perkara korupsi BLBI dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun, hingga mengubah status kepegawaian menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Ketiga, kinerja sektor penindakan yang semakin mengkhawatirkan. Catatan mereka, setidaknya dapat dilihat dari sejumlah hal, seperti mandeknya supervisi terhadap perkara besar seperti kasus korupsi pengurusan fatwa Mahkamah Agung yang melibatkan Djoko S Tjandra, serta Jaksa Pinangki S Malasari. Kemudian jumlah Operasi Tangkap Tangan atau OTT yang dinilai anjlok sejak dua tahun terakhir, dan minimnya penanganan perkara strategis yang melibatkan penegak hukum.
Keempat, kinerja sektor pencegahan yang belum efektif. Penyesuaian pendekatan antikorupsi yang didorong oleh negara dan KPK belum menunjukkan hasil yang signifikan, kata Zaenur. Kemudian Revisi UU KPK yang diklaim memperkuat sektor pencegahan, di saat bersamaan tak cukup mengakomodasi kebutuhan penguatan program pencegahan itu sendiri.
Terakhir kelima, pengelolaan internal KPK yang buruk. Penerbitan Peraturan Komisi atau Perkom No 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja dinilai tidak memiliki urgensi yang signifikan. Perubahan struktur di tubuh KPK dalam PerKom 7/2020 dinilai dapat memperlambat kinerja organ KPK dan berdampak pada jumlah anggaran yang harus dikeluarkan. Saat institusi lain berusaha merampingkan struktur organisasinya, KPK justru berjalan ke arah sebaliknya. Selain itu Perkom 7/2020 bertentangan pula dengan substansi UU KPK.
Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi belakangan makin disorot juga karena dianggap kehilangan tajinya. Bahkan, lembaga antirasuah itu juga tidak menunjukkan tugasnya dalam pengungkapan kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) belum lama ini. Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Indonesia sekaligus pengamat politik Ray Rangkuti menyebut, KPK harusnya terlecut karena kasus dugaan korupsi minyak goreng malah digarap Kejaksaan Agung.
Kejadian ini sekaligus memicu ya KPK untuk terlibat aktif melakukan itu tadi pemberantasan mafia di lingkaran peredaran minyak goreng ini,” ujar Ray dalam diskusi ‘Konspirasi Kartel Minyak Goreng Sawit Harus Diusut Tuntas!’ dikutip via Warta Ekonomi. Berkebalikan dengan KPK, Kejagung berhasil mencuri perhatian karena kasus ini. Selain KPK, ia juga menyoroti sikap kepolisian yang nampak ogah-ogahan dalam proses penegakan hukum terhadap pemberantasan mafia minyak goreng. Padahal, seharusnya pengungkapan kasus ini juga jadi cambukan bagi kepolisian dalam mengungkap kasus korupsi yang kian memprihatinkan. Ini semacam cambukan kepada KPK tentu kita berharap ini juga menjadi cambukan kepada kepolisian juga terlibat aktif ya dalam hal pemberantasan mafia di lingkaran minyak goreng dan tentu di bahan pokok lainnya.
KPK juga disebut tebang pilih dalam melakukan tindak pengusutan kasus korupsi. Seperti dugaan korupsi dan pencucian uang dua anak Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep. Malah kasus dugaan korupsi dan pencucian uang Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep sudah disetop oleh KPK. Sementara KPK begitu bernafsu mengusut komitmen fee Formula E. Padahal, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengaudit laporan pembiayaan yang dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta untuk ajang Formula E. BPK tidak menemukan dugaan korupsi seperti yang dituduhkan itu.
Gagal melalui DPRD DKI Jakarta. Anies Baswedan kini dibidik oleh KPK. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah menggelontorkan uang ratusan miliar rupiah untuk penyelenggaraan ajang Formula E hingga tiga tahun ke depan. KPK dituding tebang pilih. Formula E berdasarkan audit BPK tidak menemukan adanya korupsi. Kinerja KPK dipertanyakan. Termasuk hilangnya Harun Masiku yang gagal ditemukan oleh KPK. Menguapnya kasus korupsi Ahok di RS Sumber Waras dan tanah Cengkareng. Bahkan dugaan korupsi dan pencucian uang yang melibatkan anak Jokowi sudah disetop tanpa dilakukan pemeriksaan terhadap Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep.
KPK terkesan diskriminatif dan bermain politik praktis dengan memeriksa Anies Baswedan. Integritas dan netralitas KPK dipertanyakan. KPK tebang pilih. Anies dibidik, Ahok dan Gibran dilepas. Anies Baswedan diframing sedemikian rupa oleh partai tertentu bekerja sama dengan jaringan oligarki di KPK. Anies Baswedan seolah-olah terlibat dalam kasus dugaan korupsi Formula E. Sebuah fitnah yang sangat kejam dan mengerikan. Para elite politik dan partai tertentu berkonspirasi melakukan pembusukan terhadap Anies Baswedan agar elektabilitas dan popularitas Anies Baswedan lajunya terhenti. Setidaknya harus diganggu agar stagnan. Mereka berupaya melalui partai tertentu, KPK dan para buzzer menjegal dan menghentikan langkah Anies Baswedan menuju kursi Kepresidenan pada tahun 2024.
Kinerja KPK ini juga bisa dilihat dari Rekor yang diraih KPK di Era Firli Bahuri Dkk yaitu Tiap Tahun Ada Sidang Etik untuk Pimpinan. KPK era kepemimpinan Firli Bahuri dkk disebut paling sering berhadapan dengan Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Era pimpinan KPK Jilid V ini, disebut langganan sidang etik. Bahkan, setiap tahunnya, ada sidang etik bagi pimpinan yang diduga melanggar etik. Mulai dari 2020 hingga 2022.
Firli Bahuri merupakan Pimpinan KPK 2019-2023 bersama dengan Alexander Marwata, Nawawi Pomolango, Nurul Ghufron, dan Lili Pintauli Siregar. Mereka mulai dilantik pada Desember 2019. Beberapa bulan usai UU baru KPK yang kontroversi juga mulai diberlakukan. Tak lama dilantik, sudah mulai terjadi dugaan pelanggaran etik oleh Pimpinan KPK. Mereka yang sering dilaporkan ialah Firli Bahuri dan Lili Pintauli Siregar.
Pada Juni 2020, Firli Bahuri dilaporkan ke Dewas KPK oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Ia dilaporkan terkait penggunaan helikopter saat berkunjung ke Baturaja, 20 Juni 2020. Dewas KPK kemudian menindaklanjuti laporan ini. Namun, laporan ini baru masuk tahap sidang pada Agustus 2020. asilnya, Firli dinilai melanggar poin integritas dan kepemimpinan dalam kode etik KPK. Meski dinyatakan melanggar etik, Firli hanya dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis II. Eks Kapolda Sumsel tersebut diminta tak mengulangi perbuatannya. “Mengadili, menyatakan terperiksa terbukti melanggar kode etik” ujar Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, dalam sidang terbuka yang disiarkan secara live streaming pada 24 September 2020. “Menghukum terperiksa dengan sanksi ringan teguran tertulis dua yaitu agar terperiksa tidak mengulangi perbuatan,” imbuh Tumpak.
Pada Agustus 2021, giliran Lili Pintauli Siregar yang disidang Dewas KPK. Lili Pintauli dilaporkan terkait dua hal. Pertama, diduga menjalin komunikasi dengan pihak yang sedang berperkara di KPK, yakni Wali Kota Tanjungbalai, M. Syahrial. Kedua, diduga memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi yakni meminta Syahrial membantu adik iparnya terkait remunerasi. Perbuatan Lili Pintauli itu pun terbukti. Ia dihukum dengan sanksi berat. Namun sanksi berat itu hanya pemotongan gaji pokok 40% selama setahun. Bahkan, perbuatan Lili yang berkomunikasi dengan pihak berperkara itu termasuk dalam pelanggaran pidana sebagaimana diatur dalam UU KPK. Namun KPK, termasuk Dewas KPK, tidak menindaklanjutinya. Tahun ini 2022, Lili Pintauli akan kembali duduk di meja hijau Dewas KPK. Kali ini terkait dugaan penerimaan sejumlah fasilitas dan tiket nonton MotoGP Mandalika. Untuk Lili Pintauli, ia menjadi Pimpinan KPK jilid V yang sering dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik. Setidaknya ada 4 laporan terhadap dirinya. Salah satunya ialah yang saat ini akan disidangkan. Pegawai yang dipecat karena TWK itu mengatakan bahwa memang sejak awal ketika Firli Bahuri dkk terpilih jadi Komisioner, sudah diduga KPK akan menghadapi sejumlah persoalan.