» Feed" href="https://cons.id/id/feed/"/> » Umpan Komentar" href="https://cons.id/id/comments/feed/"/> » Prinsip Checks and Balances Atas Kekuasaan Presiden Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Era Pandemi) Umpan Komentar" href="feed/"/>
Pengamatan & Debat

Prinsip Checks and Balances Atas Kekuasaan Presiden Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Era Pandemi)

Sepanjang tahun 2020, bersamaan dengan terjadinya pandemi covid-19 beberapa peraturan perundang-undangan yang diundangkan banyak menuai kontroversi dan dinilai tidak memiliki kepekaan sosial (Ihsanuddin, https://nasional.kompas.com/read/2020/10/06/05332291/ini-sederet-kebijakan-kontroversial-jokowi-selama-pandemi-covid-19?page=all). Merujuk pada catatan Daftar Pengajuan Permohonan Perkara Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi (https://mkri.id/index.php?page=web.EFormPUUDetail&id=2, 2020), beberapa legislasi kontroversi tersebut bahkan telah diajukan judicial review, antara lain Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Secara konstitusional, optik kekuasaan Presiden dalam membentuk sebuah peraturan perundang-undangan, khususnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dinyatakan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945. Sebagai pembatasan kesewenang-wenangan Presiden, maka Pasal 22 ayat (2)-nya memberikan mekanisme checks pada DPR untuk menentukan apakah Perppu yang diundangkan layak diteruskan sebagai Undang-Undang. Dalam hal ini Perppu Nomor 1 Tahun 2020 pada akhirnya disetujui DPR menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, dengan hanya menyisakan ketidaksetujuan satu Fraksi DPR. Begitu juga optik kekuasaan Presiden dalam pembentukan Undang-Undang yang mendasarkan pada Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945 juga memberikan kesempatan checks pada DPR atas kesewenang-wenangan Presiden di Pasal 20 ayat (2)-nya. Faktanya semua RUU kontroversi masa pandemi yang diajukan Pemerintah ‘diloloskan’ oleh DPR secara mayoritas. Merujuk definisi yang dikemukakan Louis Fisher (2007: 2 & 2014: 58-76,) maka kekuasaan Presiden tersebut di atas dikategorikan sebagai enumerated and implied powers yaitu kekuasaan Presiden yang tersurat dalam teks atau pasal-pasal di Konstitusi.
Sebagai negara hukum yang melaksanakan prinsip checks and balances dalam sistem ketatanegaraan, maka apakah tepat bila ‘kekecewaan’ ketatanegaraan tersebut di atas hanya dilimpahkan pada Presiden? Saldi Isra (2010: 269-311) merumuskan 3 faktor yang mempengaruhi fungsi legislasi, yaitu sistem kepartaian, partisipasi masyarakat, dan Mahkamah Konstitusi (MK). Artikel ini secara singkat akan membahas relasi kekuasaan pembentukan perundang-undangan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) dengan mendasarkan pada argumen Saldi Isra di atas.
‘Keselarasan’ Presiden dan DPR dalam pembentukan peraturan di atas nampaknya bertentangan dengan kajian yang menyatakan sistem pemerintahan presidensial dan sistem multipartai tidak bisa disatukan, sebagaimana dinyatakan Scott Mainwaring (1992: 114) dan Jose A. Cheibub, Adam Przeworzki dan Sebastian M. Saiegh (British Journal of Political Science, No. 34, 2004: 565-566). Apakah ketidaksinkronan antara kajian-kajian di atas dengan realitas pembentukan legislasi tersebut apakah merupakan ‘keberhasilan’ negara Indonesia dalam menciptakan sistem sendiri yang tetap menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia? untuk memperoleh jawabannya, setidaknya dapat menganalisis pengaturan pemilihan umum Presiden dan DPR.
Kondisi koalisi partai yang menunjukkan karakter sistem parlementer sebenarnya sudah diingkari dengan pemberlakukan Presidential Threshold (PT) model Indonesia, yang sangat jauh dari tujuan utama pembentukannya. Usulan PT yang dinyatakan dalam Surat Presiden RI No: R.02/PU/I/2003 tentang Rancangan Undang-Undang Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dalam Risalah Rapat (Proses Pembahasan RUU Pemilihan Presiden dan Wapres, 31 Maret 2003) banyak dikritisi, salah satunya Umar Anggorojene (LIPI) yang secara tegas menyatakan bahwa skenario dibalik PT bukan hanya distorsif sebab mengacu pada sistem parlementer, namun juga mengandung cacat konstitusional, sebab bukan merupakan tujuan utama dibentuknya Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945.
Walaupun PT telah berkali-kali dilakukan judicial review di MK (Perkara No. 51/PUU-VI/2008; Perkara No. 52/PUU-VI/2008; Perkara No. 59/PUU-VI/2008; Perkara No. 14/PUU-XI/2013; dan Perkara No. 53/PUU-XV/2017), namun secara konsisten MK menempatkan pengaturan PT merupakan delegasi kewenangan terbuka (open legal policy), sehingga DPR-lah yang memegang ‘kunci’ perubahannya. Menggantungkan perubahan lewat open legal policy adalah upaya yang sia-sia, sebab sejak awal rumusan PT ini diajukan dan didukung oleh partai politik (parpol) yang memang memiliki basis dukungan rakyat yang besar dalam pemilu yaitu PDI-P, Golkar, PAN, PKB, dan Partai Demokrat, sebaliknya parpol kecil yang menolak adalah Partai Hanura, PKS, Gerindra, PPP, dan PBB (Jamal Wiwoho, http://www.koran-sindo.com/node/333149).
Tujuan utama PT menurut Syamsuddin Haris (Syamsuddin Haris, http://syamsuddinharis.wordpress.com/2012/10/30/salah-kaprah-presidential-threshold/) adalah bukan untuk membatasi pencalonan Presiden, melainkan dalam rangka menentukan persentase suara minimum untuk keterpilihan seorang Presiden sebagaimana dirujuk dari Pasal 6 ayat (3) UUD NRI 1945. Syarat ambang batas pencalonan Presiden yang didasarkan perolehan kursi parpol di DPR pada dasarnya merupakan praktek anomali dalam skema presidensail, apalagi konstitusi menjamin bahwa DPR dan presiden tidak bisa saling menjatuhkan. Terkait hal ini, penulis pernah menuliskan gagasan (Dri Utari CR., Makalah KNHTN 6, 2019) bahwa apabila tidak dimungkinkan menghilangkan model PT sebagaimana saat ini, maka menurunkan prosentase PT pada kisaran angka 6% atau 7% sebagaimana data hasil penghitungan suara parpol peserta pileg tahun 1955-2019 (BPS, https://www.bps.go.id/statictable/2009/03/04/1573/hasil-penghitungan-suara-sah-partai-politik-peserta-%20pemilu-legislatif-tahun-2004 2014.html%20d) yang menyatakan hasil pileg mayoritas menempatkan angka tersebut dalam posisi yang sering muncul adalah upaya kompromi. Namun Saldi Isra (2017: 21) menyatakan jika tetap mempertahankan PT, maka sama saja dengan memelihara cacat konstitusional dalam proses pilpres, sebab merujuk Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945, parpol yang lolos verifikasi KPU sebagai peserta pemilu memilik hak untuk mengajukan pasangan capres-cawapres.
Selain PT, mekanisme pemilihan DPR yang menggunakan mekanisme proporsional terbuka dimana masyarakat memilih secara langsung calon yang ingin mewakilinya juga membawa pengaruh pada kualitas anggota DPR. Sistem yang berlaku sejak ditetapkan MK di tahun 2009 ini telah benyak merubah kultur dan pola politik di internal parpol serta masyarakat. Alief Bayu Prahasta (https://rumahpemilu.org/mengevaluasi-sistem-pemilu-proporsional-terbuka/) mencatat empat akibat buruk atas mekanisme ini; pertama, membuat ongkos politik semakin mahal; kedua, mendorong politik uang yang tinggi; ketiga, apabila diserentakkan dengan pemilu presiden membuat perhatian masyarakat hanya tertuju kepada pemilu presiden; dan keempat, mendorong kanibalisme dalam kompetisi.
Dua hal buruk sistem proporsional di atas berkait dengan money politics, menjadi indikasi kualitas calon DPR yang jauh panggang dari api. Ongkos atau mahar politik yang besar, diakui atau tidak menjadi alasan bagi para anggota DPR untuk bersikap apatis dan tidak peka dengan keinginan rakyat, sebab terfokus pada upaya mengembalikan ongkos politik pencalonannya. Almas Ghaliya Putri Sjafrina peneliti ICW (INTEGRITAS Volume 05 No. 1 tahun 2019: 47-48) menyatakan Pemilu legislatif 2014 menunjukkan pemilu dengan praktik politik uang paling masif dan vulgar sepanjang sejarah pemilu di Indonesia, sementara pemilu 2019 tak kalah masif politik uangnya dibanding pada tahun 2014, hal ini disebabkan naiknya parliamentary threshold, dari 3,5% menjadi 4%. Money politics dilakukan dengan cara pemberian mahar politik dari bakal calon kepada parpol maupun oleh parpol pada caleg dan terjadinya jual beli suara.
Apabila eksekutif dan legislatif dirasa tidak mampu mengundangkan peraturan perundang-undangan yang diharapkan peka terhadap kebutuhan masyarakatnya, maka garda terakhir untuk mekanisme check and balanches-nya adalah MK dengan kewenangan judicial review-nya. Sebagaimana pandangan Saldi Isra tentang faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi legislasi, maka usulan partisipasi masyarakat dan peran MK merupakan pelaksanaan demokrasi. Robert B. Gibson (1981: 23) menyatakan bahwa demokrasi partisipatoris mendorong masyarakat untuk terlibat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga pada akhirnya tidak hanya mewujudkan pemerintahan yang demokratis, namun juga masyarakat yang demokratis. Partisipasi masyarakat ini adalah hak, sehingga menurut Bagir Manan (2004: 85-86) harus dilakukan dengan beberapa cara dan juga ditambahkan Rival G. Ahmad dkk (2003: 109) harus merujuk beberapa prinsip, salah satunya adalah keharusan publikasi sehingga ada asas keterbukaan. Menurut Bivitri Susanti (2005: 58), partisipasi masyarakat seharusnya berjalan bermakna dan penuh atau full and meaningful participation.
Faktor ketiga yang disampaikan Saldi Isra (Op.Cit.: 293) yaitu judicial review merupakan pranata penting untuk mendudukkan posisi masyarakat menjadi sejajar (diametral) dengan penguasa pembentuk legislasi. Selain itu konsep konstitusionalisme yang sedari awal memberikan pembatasan pada kekuasaan Lembaga Negara juga sekaligus memungkinkan perlindungan pada hak warga negara. Sebagaimana tugas MK sebagai penafsir konstitusi, antara lain sebagai the protector of the citizen’s constitutional rights dan the protector of democracy. Dalam hal ini menurut Radian Salman (Ringkasan Disertasi, 2017: 11), Indonesia dapat dinyatakan sebagai negara yang menganut konstitusionalisme, sebab ada mekanisme pengawasan secara eksternal dari MK terhadap produk legislasi, yang telah disetujui bersama antara Presiden dan DPR.
Idealnya, sistem ketatanegaraan yang mengatur Lembaga Negara harus dinyatakan dan dibatasi dalam sebuah Konstitusi. Sebagaimana Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 yang memberikan kekuasaan penuh pada Presiden untuk melaksanakan pemerintahan dan melaksanakan fungsinya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Mengutip kajian F. Isjwara (1982: 163) bahwa negara atau pemerintah sebagai alat lazim dipersamakan dengan bahtera (kapal) yang mengangkut para penumpangnya (seluruh rakyat) ke pelabuhan kesejahteraan (dinyatakan dalam alinea 4 Pembukaan UUD NRI 1945). Kapal yang dikemudikan oleh Pemerintah (nahkoda) memiliki fungsi dan tugas untuk mensejahterakan rakyatnya, sehingga rakyat memiliki hak berpartisipasi dalam upaya mencapai kesejahteraan yang ditetapkan dalam politico-legal document tersebut. Tanggungjawab pemerintahan memang ada di tangan Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, namun konteks negara hukum dan negara demokrasi merumuskan prinsip checks and balances dari Lembaga Negara lainnya yang dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan diberikan pada DPR dan MK, beserta rakyat sebagai pemegang kedaulatan untuk dapat berpartisipasi secara full and meaningful.

Related Articles

Back to top button