Upaya Pencegahan Terjadinya Konflik Selama Masa Pemilu Di Indonesia Dalam Perspektif Kriminologi A La Indonesia
Bagi negara yang menyatakan bahwa negaranya merupakan negara yang menjujung tinggi nilai demokrasi, maka masa pemilihan umum (pemilu) merupakan ajang politik yang selalu dinanti-nantikan serta memberikan dampak yang signifikan. Masa pemilu merupakan masa dimana suatu negara menentukan nasib negara tersebut dalam beberapa waktu tertentu kedepan. Masa pemilu sendiripun terjadi di Indonesia. Bahkan beberapa menyebutkan bahwa masa pemilu di Indonesia merupakan masa dimana rakyat “berpesta” secara politik, yang mana rakyat memainkan peran pentingnya dalam menentukan masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia selama beberapa tahun kedepan. Itu sebabnya, masa pemilu memiliki dampak yang besar.
Berbicara mengenai pemilu di Indonesia sendiri, tak jarang juga dibarengi dengan dampak negatif. Dampak negatif yang terjadi selama masa pemilu salah satunya adalah terjadi perselisihan ditengah-tengah masyarakat. Perselisihan ini sendiri muncul atas dasar adanya perbedaan pandangan pada masa pemilu berlangsung. Perselisihan tersebut lantas dapat berubah menjadi suatu konflik. Tak jarang konflik tersebut dapat terjadi dengan jangka waktu melebihi masa pemilu serta bergeser menjadi suatu tindak pidana. Jika sudah terjadi demikian, maka hal tersebut juga dapat memicu terjadinya perpecahan ditengah-tengah masyarakat. Ini juga diperparah dengan adanya fenomena polarisasi ditengah-tengah masyarakat yang kemudia digunakan oleh oknum tertentu guna menguntungkan posisinya selama masa pemilu berlangsung.
Di Indonesia sendiri, fenomena tersebut mulai dapat dilihat sejak masa Pilpres Tahun 2014. Adanya pihak-pihak yang memiliki pandangan politik yang berbeda menjadi pemicu pertama konflik selama masa pemilu. Konflik tersebut kemudia diperparah melalui penyebaran berita bohong selama masa pemilu, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Penyebaran-penyebaran berita bohong maupun ujaran kebencian menjadi efektif mengingat masih rendahnya kemampuan masyarakat Indonesia dalam mengidentifikasi suatu berita bohong. Inilah kemudian menimbulkan konflik yang tak jarang melebar ke ranah tindak pidana. Fenomena tersebut kemudian terjadi kembali pada masa pemilu lainnya di Indonesia, diantara selama Pilgub DKI Jakarta Tahun 2016 dan Pilpres Tahun 2019, dimana terdapat kasus terjadinya tindak pidana yang didasari atas konflik selama masa pemilu. Adanya fakta-fakta tersebut, barang tentu menjadi catatan buruk selama penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Tentu beberapa diantara kita tidak mau masa pemilu di Indonesia menjadi masa untuk memecahkan masyarakat di Indonesia. Oleh karenanya, diperlukan suatu upaya dalam hal mencegah peristiwa tersebut agar tidak terulang lagi atau setidaknya diminimalisir pada masa pemilu yang akan datang di Indonesia.
Berbicara soal upaya pencegahan konflik, maka ada satu ilmu yang dapat digunakan. Ilmu tersebut adalah kriminologi. Sekalipun kriminologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang kejahatan, ilmu ini dapat digunakan dalam hal mencegah konflik. Hal ini mengingat bahwa dalam teori kriminologi, suatu kejahatan dapat terjadi akibat adanya suatu konflik. Mengingat konflik yang dibahas adalah konflik pada masa pemilu di Indonesia, maka alangkah lebih baik jika konflik tersebut dicegah dengan pendekatan kriminologi yang a la Indonesia. Pendekatan kriminologi yang dimaksud adalah pendekatan sobural. Adalah Jacobus E. Sahetapy yang pertama kali menggagas pendekatan ini. Pendekatan sobural (sosial, nilai budaya, dan faktor struktural) sendiri mencoba untuk menggunakan perspektif budaya dan norma yang sesuai dengan masyarakat Indonesia dalam menganalisis suatu perilaku dapat dinyatakan menyimpang. Sehingga alangkah lebih baik jikalau pendekatan ini digunakan dalam menjawab pertanyaan mengenai upaya mencegah dan meminimalisir konflik selama masa pemilu di Indonesia.
Mengenai konflik selama masa pemilu di Indonesia, seperti dijelaskan sebelumnya, konflik selama masa pemilu didasari adanya perbedaan dalam pandangan maupun pilihan politik. Tentunya perbedaan ini sendiri tercipta dengan nilai-nilai yang dianut seseorang maupun sebuah kelompok. Mengingat terjadinya perbedaan atas tersebut, maka potensi terjadinya konflik pun muncul. Oleh karenanya, berdasarkan pendekatan sobural, konflik tersebut pun dapat dicegah dengan nilai yang sama, yaitu nilai-nilai yang ada masyarakat itu sendiri. Adapun pendekatan nilai yang digunakan adalah pendekatan bahwasanya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural, sehingga adanya perbedaan pandangan yang disebabkan adanya nilai yang berbeda merupakan hal yang lumrah, termasuk saat masa pemilu. Pendekatan ini sejatinya dapat diintegrasikan oleh para pihak berkepentingan (KPU, Bawaslu, Polri, dsb.) dalam hal persiapan penyelenggaraan pemilu. Adapun salah satu caranya ialah membawa pendekatan ini pada masa sosialisasi sebelum dan saat pelaksanaan pemilu. Bahkan sosialisasi dengan menerapkan pendekatan sobural alangkah lebih baik jika dilakukan sejak jauh-jauh hari sebelum memasuki masa pemilu. Sehingga upaya pencegahan terjadinya konflik telah dilakukan, setidaknya dalam hal meminimalisir terjadinya konflik. Namun perlu menjadi catatan
Melalui penulisan artikel ini, dapat disimpulkan bahwasanya konflik selama masa pemilu umumnya terjadi dikarenakan adanya perbedaan pandangan politik yang didasari adanya perbedaan mengenai nilai dan budaya yang dianut. Perbedaan ini kemudian dimanfaatkan secara negatif oleh beberapa oknum guna menguntungkan posisi mereka. Maka diperlukan juga pendekatan secara budaya guna mencegah terjadinya konflik pada masa pemilu. Pendekatan ini pun disarankan digunakan secara jangka panjang guna memaksimalkan upaya pencegahan konflik selama masa pemilu di Indonesia. Kiranya masa pemilu di Indonesia dapat meninggalkan lebih banyak catatan baik.
Referensi
J.E. Sahetapy, Elfina Sahetapy, ed., Pisau Analisis Kriminologi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
https://www.suara.com/news/2019/12/19/124656/polri-sebut-konflik-sosial-selama-pemilu-berawal-dari-media-sosial