Perkembangan Internasional

Konstitusi Kamboja tentang Hukum Internasional

Interaksi antara hukum internasional dan hukum domestik berkaitan dengan perselisihan antara kedaulatan negara dan tatanan hukum internasional ketika hukum internasional digunakan dalam sistem hukum nasional. Hukum internasional tidak berbeda dengan hukum nasional dalam hal peraturan, asas hukum, kebiasaan, atau keputusan hukum, tetapi hukum internasional mengatur hubungan negara, organisasi internasional, individu, dan entitas yang dikenal sebagai aktor internasional yang memiliki kapasitas hukum (legal personality). Untuk menghindari supremasi hukum internasional, beberapa negara menganggap prosedur adopsi dari negara nasional mereka tanpa konflik konstitusional. Namun, beberapa negara mengakui hukum internasional sebagai hukum nasional mereka tanpa prosedur apapun. Teori monisme dan dualisme merupakan teori utama ketika membahas penerapan hukum internasional di suatu negara. Monisme adalah suatu pendekatan bahwa satu negara menerima hukum internasional secara otomatis sebagai bagian dari hukum nasionalnya tanpa tindakan tegas dari badan legislatif. Sebaliknya, jika negara bersifat dualistik, hukum internasional dapat menjadi hukum nasional setelah secara tegas diadopsi oleh undang-undang.[1] Itu tergantung pada eksekusi domestik.

Apakah Kamboja mengadopsi monisme atau dualisme, itu berada di wilayah abu-abu karena beberapa pasal Konstitusi menunjukkan adopsi di salah satu dari kedua cara tersebut.

Hukum internasional adalah sumber hukum Kamboja, tetapi Konstitusi adalah hierarki hukum tertinggi yang dijalankan di Kamboja. Berbeda dengan Konstitusi Belanda, hukum internasional dapat berlaku di atas Konstitusi ketika mayoritas dua pertiga di parlemen menyetujui perjanjian tersebut.[2] Berdasarkan Pasal 26 Konstitusi, semua perjanjian dan konvensi internasional dapat menjadi hukum Kamboja setelah persetujuan Majelis Nasional dan senat dengan tanda tangan dan ratifikasi dari Raja. Sesuai dengan Pasal 90 (baru), itu menetapkan bahwa Majelis Nasional mengadopsi persetujuan atau pencabutan perjanjian atau konvensi internasional. Berdasarkan konteks ini, penulis dapat berpendapat bahwa Kamboja menerapkan pendekatan dualistik karena perjanjian dan konvensi tersebut harus ditandatangani dan diratifikasi oleh Raja dengan proses legislatif parlemen.

Namun, Pasal 31 Konstitusi tidak menunjukkan persetujuan dari parlemen Kamboja yang diatur sebagai berikut:

Pasal 31: Kerajaan Kamboja harus mengakui dan menghormati hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan kovenan dan konvensi yang berkaitan dengan hak asasi manusia, hak perempuan dan anak. […]

Dari Pasal tersebut di atas dapat diketahui bahwa tidak adanya proses transformasi hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional menjadi komitmen yang mengikat secara hukum. Tampaknya Kamboja secara otomatis mengadopsi hukum HAM internasional yang relevan karena kita memahami kata-kata yang digunakan di atas adalah “mengakui dan menghormati”. Hal ini ambigu karena kata “mengakui” tidak menunjukkan secara jelas apakah yang dimaksud adalah dengan mengakui setelah proses legislasi atau mengakui secara otomatis ke dalam hukum nasional. Tidak ada penafsiran tentang hal itu, sehingga menimbulkan diskusi intensif di antara para profesor dan praktisi hukum.

Istilah “Hukum” [dalam konteks Kamboja] berarti hukum nasional, termasuk Konstitusi yang merupakan hukum tertinggi, semua hukum yang masih berlaku, dan hukum internasional yang sudah diakui oleh Kerajaan Kamboja, khususnya Konvensi tentang Hak Anak.[3]

Meskipun hanya Dewan Konstitusi Kamboja yang memiliki kewenangan tunggal untuk menangani interpretasi konstitusional, namun belum ada interpretasi atau diskusi untuk mengatasi masalah tersebut.[4] Dewan Konstitusi tidak menjelaskan bahwa perjanjian hak asasi manusia yang diratifikasi adalah hukum domestik, tetapi keputusan Nomor 092/003/2007 CC.D menunjukkan bahwa Konvensi tentang hak-hak anak secara langsung berlaku untuk hukum nasional. Fakta demikian sebaliknya menyiratkan bahwa Kamboja adalah negara monis dan bukan negara dualistik.

Penelitian lain dari seorang profesor dan pengacara terkenal, Meas Bora, telah menunjukkan bahwa isi perjanjian itu penting. Menimbang bahwa isi perjanjian adalah tentang kewajiban hukum internasional atau menyangkut negara di tingkat internasional, maka proses legislatif harus diterapkan.[5] Akan tetapi, jika perjanjian-perjanjian tersebut tidak mempunyai ikatan hukum atau jika perjanjian-perjanjian tersebut hanya merupakan perjanjian kerja sama, maka tidak perlu diputuskan oleh parlemen.

Kesimpulannya, ada garis kabur antara monisme dan dualisme. Selama hukum internasional diakui dalam kedua konsep tersebut, keduanya dapat menjadi sumber Hukum Kamboja. Kedua konsep tersebut dimungkinkan di Kamboja karena tidak ada pendekatan yang jelas yang diatur dalam Konstitusi Kamboja. Dibandingkan dengan Indonesia, Kamboja belum memiliki undang-undang khusus terkait dengan adopsi atau pencabutan perjanjian atau hukum internasional.

[1] Rebecca M.M. Wallace. International Law, London. Sweet & Maxwell. p.36.

[2] The Dutch Constitution, Art. 91, para. 3.

[3] The Constitutional Council, Case Decision Nº 092/003/2007 CC.D of July 10, 2007.

[4] Daniel HEILMANN, fundamental rights protection: A comparative and international Law perspective, p.353.

[5] Meas Bora. Et al, Are all treaties be adopted by parliament? (2019), p.27. https://bit.ly/3l0RCRP

A Graduate Law Student at the Royal University of Law and Economics (Cambodia) and an exchange student at Universitas Airlangga (Indonesia) and West Virginia University (America).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button