Pengamatan & Debat

Mengapa Belenggu-Positivisme Menghambat Reformasi Regulasi?

Segudang masalah merayapi sistem tata kelola regulasi Indonesia yang kini jumlahnya menyentuh angka belasan ribu.

Catatan PSHK (2019) menunjukan obesitas regulasi, tumpang-tindih aturan, serta ketidaksinkronan legislasi terhadap rencana pembangunan hanyalah sebagian kecil dari masalah. Problem sebelumnya terakumulasi dan membengkakkan ongkos kebijakan yang mestinya dapat dihemat.

Polemik itu menaikkan wacana reformasi regulasi sebagai tema penting dalam tiap agenda pembaruan hukum. Perlahan, pilihan kebijakan seperti penyederhanaan, reharmonisasi, hingga deregulasi digagas; tapi semua itu belum berhasil memberi keluaran yang optimal.

Stagnansi muncul akibat opsi-opsi sebelumnya lebih banyak menyoroti penanganan masalah legislasi di wilayah hilir. Sementara di hulu masalahnya, toxic positivism punya andil besar sebagai penyebab terhambatnya reformasi regulasi.

Doktrin Arus Utama

Menjadi aliran arus utama banyak studi hukum di Indonesia, kepopuleran mazhab legal positivism tidak bisa diceraikan dari konstruksi pengertian hukum positif dalam tradisi civil law. Selama ini, doktrin positivisme meletakkan legitimasi sebagai faktor determinan positivitas. Variabel itu juga menjadi pembeda antara kaidah yang hukum dan yang bukan hukum; para intelektual positivis acap mengasosiasikan hukum sebagai perintah karena terdapat variabel ‘otoritatif’.

Kelsen, salah satu filsuf positivis termasyur Jerman, datang dengan konsep teoretisnya yang apik. Hukum menurutnya mesti terlembagakan dalam kesatuan hierarki atau sistem norma serupa piramida. Dengan begitu, kepastian bisa diangkat sebagai tujuan utama dari hukum.

Doktrin positivisme melihat hukum sebagai sebuah kebenaran metodologis-saintifik yang dapat dibedakan dengan norma yang bersifat metafisik semisal moralitas. Sampai pada titik tersebut, konstruksi positivisme sejalan dengan wacana reformasi regulasi, yang mengisyaratkan perlunya tata regulasi yang harmonis.

Namun, yang menjadi persoalan adalah aliran positivisme kerap diterima begitu saja oleh mayoritas sarjana hukum sebagai kebenaran dogmatik, hingga pada gilirannya, kecenderungan itu memunculkan banyak anomali dalam praktiknya. Anomali cara berpikir toxic positivism muncul sebagai imbas eksternal dari hegemonisasi doktrin positivisme hukum.

Hal yang kerap terlupakan adalah bahwa mazhab yang berakar dari aliran filsafat idealisme tersebut sejatinya bukanlah ajaran tanpa syarat. Doktrin positivisme mengandung asumsi objektif yang tak terhindarkan sebagai kelemahannya: bahwa setiap hukum yang diterbitkan otoritas, sepanjang dibuat sesuai prosedur formal yang disepakati, adalah apriori bebas nilai dan inklusif.

Akan tetapi, sebelum kondisi ideal itu bisa tercapai, terdapat ‘prakondisi positif’ yang harus dipijak lebih dulu. Dan prakondisi itu mensyaratkan jaminan bahwa otoritas (penguasa terpilih) senantiasa taat asas dalam merancang, membuat dan menjalankan hukum secara bijak demi kepentingan bersama—sejalan dengan imaji kontrak sosial Rousseau.

Maka, otomatis, ketika prakondisi positifnya diingkari, fitur-fitur yang menentukan validitas apriori dari hukum sebelumnya mustahil tersalurkan.

Di sisi lain penginternalisasian doktrin murni positivisme dalam dinamika studi hukum di Indonesia, cenderung tidak utuh. Karena, dalam implementasinya lebih banyak berkutat pada tataran bagaimana regulasi harus memenuhi ‘kondisi’ positif tadi; bukan pada tataran bagaimana membenahi ‘prakondisi’ yang sesungguhnya merupakan tantangan tersulit.

Boleh jadi, isu itu luput dari perhatian lantaran para proponen positivis menilai problem tersebut bisa diselesaikan lewat proses formal; sebab hukum menyediakan pranata penarikan mandat terhadap pejabat yang dinilai gagal memperjuangkan kepentingan publik.

Pandangan sebelumnya memang ideal secara konsep, namun problemnya, perkakas itu tidak mudah dipakai dalam realitas demokrasi kontemporer yang problematik. Apalagi pemaknaan atas kedaulatan rakyat telah banyak mengalami pendangkalan lantaran hanya diterjemahkan sebatas dalam koridor keikutsertaan rakyat dalam agenda pemilihan lima tahunan.

Dalam skenario itu, publik hanya diposisikan sebagai konsumen dalam pasar politik elektoral yang membuat kendalinya tak lebih dari bagaimana semestinya mekanisme pasar bekerja. Kalau pelanggan (baca: pemilih elektoral) tidak puas dengan produknya (baca: kinerja eksekutif-legislatif), maka tak perlu beli lagi (baca: memilih ia kembali di pemilu selanjutnya).

Yang tak disadari, kecenderungan apologetis seperti itu sebenarnya memberikan imunitas bagi para kandidat terpilih, semasa sedang menjabat, untuk leluasa menghindari tagihan janji-janji dan pertanggungjawaban kinerjanya secara langsung kepada para pemilihnya.

Serangkaian kontroversi legislasi Indonesia akhir-akhir ini membuktikan jika keberadaan presumsi  positivisme lebih banyak menguntungkan posisi tawar otoritas. Demokrasi perwakilan dimaknai dalam tataran terdangkalnya. Bekal mandat, yang kebanyakan didapat lewat proses politik bercorak transaksional, acap diangkat sebagai alibi untuk melegitimasi kubu politiknya sebagai otoritas yang paling layak dan pantas menerjemahkan kebutuhan hukum masyarakat sekalipun di saat bersamaan mendapat penolakan luas dari publik. Sandel (2020) menyebut fenomena semacam ini sebagai ‘Tyranny of Merit’.

Konsekuensi ‘Pemurnian’ Hukum 

Selain karakter otoritatifnya, masalah juga muncul karena konstruksi positivisme menarik jarak tegas antara hukum dan non-hukum.

Pemisahan ini diklaim krusial guna memurnikan hukum dari faktor-faktor eksternalnya agar normativitas hukum senantiasa berdiri sendiri (self-grounding). Sayangnya, cara pandang demikian cukup naif karena tanpa sadar menyangkal keberadaan motif-motif politik golongan sebagai elemen superior pendeterminasi keluaran kebijakan.

Berbeda dengan opini populer yang melihat oligarki dan demokrasi sebagai dua kutub yang saling bertolak, tipologi politik Indonesia hari ini justru memberi ruang besar bagi keduanya untuk berjalan berdampingan (Ridha, 2019). Contoh teranyarnya mungkin terlihat pada polemik legislasi Undang-Undang Cipta Kerja lalu yang secara vulgar mempertontonkan intervensi-kompromistis antara asosiasi pengusaha dan pemangku kebijakan, bahkan sejak awal proses perencanaan dan penyusunan materinya.

Lebih dari itu, pemurnian hukum dari kriteria moral yang diamini para proponen positivisme juga pada gilirannya membuat problem dekadensi etika pejabat publik, yang sebenarnya memengaruhi kualitas keluaran regulasi, dinilai tak cukup jadi alasan untuk mengatakan suatu produk hukum bermasalah secara inheren.

Pada titik tersebut, apologi positivisme—bahwa “hukum bisa saja tidak bermoral” atau “negara tak mungkin bisa memenuhi seluruh ekspektasi keadilan semua orang”—biasanya keluar sebagai mantra paling manjur untuk mejustifikasi penyimpangan.

Praktis sewaktu sebuah regulasi gagal bekerja sesuai janji-janji manis pembuatnya, muncul sangkalan jika masalahnya ada pada kultur masyarakat (yang tidak patuh hukum), alih-alih mengakui substansinya memang sedari awal bermasalah. Semacam gap antara das sollen dan das sein menurut banyak pakar.

Konstruksi berpikir positivisme menuntut totalitas pada metode. Tidak sedikit pun ruang diberikan bagi cacat proses. Artinya, doktrin tersebut memang tidak didesain untuk mampu bekerja baik pada lanskap demokrasi yang korup. Ini menjelaskan mengapa ribuan aturan buatan otoritas acap berakhir sekadar jadi teks-teks perintah yang urung terimplementasikan.

Melampaui Positivisme

Dalam perkembangannya, pemikiran intelektual hukum pasca-modernitas telah lama berupaya meninggalkan paradigma positivisme. Selain karena dinilai tak lagi sesuai dengan tuntutan perubahan zaman, paradigma berpikirnya juga dipandang terlampau bergantung pada kehendak otoritas.

Menurut Douglass-Scott (2013), babak baru hukum pasca-modernitas dicirikan dengan adanya transisi peran otoritas dari ‘government’, yang bercorak intervensif, menuju ‘governance’, yang bercorak kolaboratif. Transformasi itu mendorong gelombang pemikiran intelektual baru yang berani bereksperimen menelaah permasalahan hukum secara holistis, dengan segala irisan fenomena sosio-humaniora yang melatarbelakanginya. Pada gilirannya, pendekatan baru ini berhasil menipiskan sekat-sekat pemisah antara politik, hukum dan disiplin ilmu lainnya, terutama di bidang sosial.

Kontras dengan prinsip monodisiplin positivisme yang hendak memurnikan hukum dari yang non-hukum, pendekatan lintas-disiplin, contohnya sosio-legal, jadi pranata krusial dalam mencari seluas-luasnya kemungkinan jawaban atas masalah hukum yang semakin kompleks.

Di ranah studi kebijakan publik, misalnya, perkawinan teori sosial dengan teori hukum berhasil menelurkan konsep smart regulation. Gunningham dan Sinclair (2017), yang mengembangkan konsep hukum responsif sebagai pijakannya, membuktikan bahwa model aturan command and control yang berkarakter koersif dan otoritatif adalah biang keladi utama kegagalan regulasi. Kepatuhan masyarakat, menurut keduanya, justru akan lebih mudah dibentuk bila otoritas mampu merekayasa perilaku dengan mengoptimalkan kombinasi instrumen kebijakan yang lebih lunak. Contohnya insentif atau disinsentif, instrumen sukarela, self-regulation dan seterusnya, yang secara naluri lebih minim resistansi.

Sayangnya konsep sebelumnya, menurut hemat positivisme murni, akan terdengar kontra-intuitif karena dianggap mencampuradukkan pendekatan non-hukum ke dalam apa yang mestinya hukum murni. Pergeseran aktor dari otoritas ke non-negara juga akan dipandang membuat hukum berpotensi seakan kehilangan legitimasinya. Resistansi ini mengakibatkan eksperimen atas ide-ide progresif kerap sulit dilakukan karena dipandang menyalahi kaidah positivistik yang terlanjur sudah mengakar dalam logika berpikir mayoritas cendekiawan hukum.

Belajar dari situasi sosio-politik Indonesia yang kian dilematis, kita perlu terbuka mengakui jika paradigma positivisme sudah tertinggal. Bukan saja karena presumsi teori positivisme yang problematis, namun hegemoni nilai bawaannya juga menghambat lahirnya varian pemikiran progresif yang dibutuhkan dalam pembaharuan hukum.

Itu sebabnya, di samping mengupayakan perencanaan, penataan pada dimensi substansinya, wacana reformasi regulasi juga membutuhkan pula penetrasi lebih kuat ke dalam kurikulum studi hukum. Pengarusutamaan paradigma kritis perlu diintegrasikan sebagai salah satu strategi penguatan lembaga, khususnya institusi pendidikan tinggi.

Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Email : auditya.saputra@pshk.or.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button