Paradoksialitas Kebijakan Hukum UUPA no 5 Tahun 1960 dalam Pasal 6 yang Berdampak untuk Hak Pemenuhan land reform.
Pendahuluan
Undang-undang Pokok agraria tahun 1960 beridiri diatas konsep unifikasi hukum. Dimana dahulu terjadi dualisme hukum dalam pemberlakuan hukum tanah. Pemberlakuan hukum adat bagi orang-orang bumi putera dan pemberlakuan hukum barat bagi orang-orang eropa. Hal tersebut tidak lain adalah sebuah politik pecah belah yang dilakukan oleh Belanda melalui regulasi Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) dan Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling). Maka, dengan lahirnya UUPA hilanglah dualisme didalam pemberlakuan hukum tanah. Oleh karena itu, lahirnya UUPA adalah sebuah monumen kepastian hukum bagi petani dan merupakan kemajuan yang penting dalam rangka terpenuhinya hak-hak dasar dan menjadi sebuah titik balik memandang pentingnya petani bagi tonggak keberlangsungan hidup berbangsa yang adil dan makmur.
Semangat Perjuangan Kelahiran UUPA membawa spirit perjuangan bahwa dahulu terjadi dominasi penguasaan atas tanah (sistem tuan tanah), namun dewasa ini dengan berlakunya UUPA maka hancurlah dominasi penguasaan atas tanah tersebut. Maka, konsep Reformasi agraria (land reform) adalah sebuah gagasan ideal dimana terjadi pemerataan hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelahiran UUPA juga mentransformasikan segala bentuk hak atas tanah Belanda menjadi hak atas yang baru yang diatur didalam UUPA. Oleh karenanya nafas didalam hukum tanah yang awalnya bernafas kolonialisme bertransformasi menjadi nafas nasionalisme. Sehingga perjuangan atas kepemilikan tanah adat (hak ulayat) pun diakui dan dilindungi oleh Undang-undang ini.
UUPA mengandung nilai-nilai kerakyatan dan amanat untuk menyelenggarakan hidup dan kehidupan yang berperi kemanusiaan dan berkeadilan sosial. Perwujudan keadilan sosial dapat dilihat pada prinsip-prinsip dasar UUPA yakni prinsip negara menguasai dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat, asas fungsi sosial semua hak atas tanah, prinsip landreform, prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah dan upaya pelestariannya dan prinsip nasionalitas. Prinsip dasar ini kemudian dijabarkan dalam berbagai produk berupa peraturan perundang-undangan dan kebijakan lainnya.
Pembahasan
Paradoksialitas
Namun bukan disana titik persoalannya. Undang - undang Pokok Agraria tahun 1960 adalah sebuah konsepsi ideal pemenuhan hak-hak atas tanah bagi petani, namun nyatanya hal tersebut berbanding terbalik dengan realita. Dimana dewasa ini masih banyak tuan tanah yang menguasai tanah-tanah dengan ratusan hektar padahal hal tersebut jelas melanggar aturan yang berlaku. Pada titik ini Reforma Agraria hanya menjadi sebuah jargon kosong karena terjadi inkonsistensi kebijakan. Dimana pemerintah menggalangkan program penyamarataan hak atas tanah (land reform), namun disisi lain mengeluarkan kebijakan pembangunan yang berorientasi kepada infratruktur berupa real estate, ritel, mall, jalan tol yang mengharuskan petani kehilangan lahan pencahariannya.
Dengan bersandar pada payung hukum Pasal 6 UUPA dimana ” semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial” maka pengambilalihan tanah atas nama negara menjadi legal dan sah menurut hukum. Dengan mendompleng narasi-narasi moderenisasi maka keberatan-keberatan atas pembangunan menjadi dikesampingkan dan dengan mengambil narasai-narasi “demi kepentingan umum” maka perampasan tanah seolah menjadi hal yang lumrah dan bisa ditolelir. Maka, paradoksialitas kebijakan hari ini jelas terjadi. Masih membekas dalam ingatan kita kasus-kasus agraria yang terjadi di tamansari, kulon progo, kebon jeruk, dago elos dan lain sebagainya.
Hal ini menunjukan inkonsistensi kebijakan dalam dimensi agraria yang diberlakukan pemerintah. Permohonan izin atas pengguaan lahan berupa hak pakai, hak guna usaha dipersulit padahal itu adalah tanah milih negara, sedangkan izin mendirikan ritel, real estate dan bahkan jalan tol dipermudah izinnya. Bahkan, tidak jarang banyak lahan yang dimanipulasi sehingga terindikasi tindak pidana korupsi.
Pemenuhan Hak atas hukum ulayat itu sendiri hari ini menjadi problematika di negara ini, padahal Hak ulayat merupakan salah satu hak yang diakui dalam UUD 1945 yakni tertuang pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Keberadaan masyarakat ulayat yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia sudah ada sejak Indonesia belum merdeka, dan mereka te lah mengusahakan dan mengelola tanah sejak belum diberlakukannya UU nasional yang mengatur tentang agraria. Pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat ini se lanjutnya diakui dan dinyatakan di dalam UUPA yang tertuang pada pasal 1 dan pasal 3, menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak hak yang serupa itu dari masyarakat - masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan ban gsa serta tidak boleh bertentangan dengan UU dan peraturan lain yang lebih tinggi.
Mendasarkan pada peraturan perundang-undangan tersebut maka “Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan)” (G. Kertasapoetra dkk) Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang sebaga i telah diuraikan di atas merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa. Kewenangan dan kewajiban tersebut masuk dalam bidang hukum perdata dan ada yang masuk dalam bidang hukum publik. Kewenangan dan kewajiban dalam bidang hukum perdata berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah. Sedangkan dalam hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya ada pada Kepala Adat/Tetua Adat. Terbukti dengan tinggi nya angka permasalahan konflik masalah lahan dan peristiwa-peristiwa perampasan lahan yang terjadi, jadi terjadi betul adanya Gap kebijakan dengan Realita di lapangan.
Freaming Politik Belakangan kita mengetahui bahwa ada program pemerintah berupa bagi-bagi sertifikat kepada masyarakat. Maka seluruh BPN (Badan Pertanahan Nasional) berpacu dengan waktu untuk mensukseskan program tersebut. Namun, Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang bermuara nantinya pada bagi-bagi sertifikat nyatanya sangat kental dengan tendensi politik. Kegiatan bagi-bagi sertifikat dikemas sedemikian rupa sehingga harus mengumpulkan masyarakat banyak dan harus dihadiri presiden.
Memang kegiatan tersebut cukup baik namun hal itu terlihat seperti kegiatan untuk mendongkrak popularitas penguasa di mata rakyat. Alih-alih pemerataan tanah yang dilakukan oleh pemerintah kalau dikomparasikan dengan total jumlah penduduk Indonesia maka bagi-bagi sertifikat itu tentu masik kurang efektif. Hal ini disinyalir karena BPN bersifat pasif dalam melakukan pendataan, sehingga dengan sistem menunggu bola tentu akan sulit untuk mengkonfirmasi data sampai ke pelosok-plosok daerah. BPN pun mengalami kesulitan dalam mengurai ruwetnya permasalahan tanah di negeri ini. Namun, dengan kemasan yang bagus seolah seluruh rakyat Indonesia telah mendapatkan hak-haknya dengan adil. Maka tentu BPN kedepan harus bekerja dengan optimal agar bagi-bagi sertifikat tanah tidak hanya menjadi program seremonial saja yang kuat tendensi politiknya.
Penutup
Kini, realita menampilkan sesuatu yang sangat membingungkan. Di satu sisi, negara melalui kebijakannya berusaha melakukan -apa yang sering kita dengar sebagai- “reforma agraria” . Sedangkan, di sisi lain negara juga melalui kebijakan pembangunannya berupaya mengalihfungsikan lahan yang tak terhitung banyaknya. Belum lagi dengan masuknya berbagai investasi perusahaan, yang kemudian berakibat pada penyingkiran berbagai kepentingan hidup petani.
Dengan menggenjot infrastruktur, dapat bersama kita saksikan bagaimana bendungan, jalan tol, bandara berdiri di atas tanah yang sebelumnya digunakan sebagai lahan pertanian untuk keberlangsungan hidup petani. Pembangunan infrastruktur memang jelas patut kita syukuri. Namun, menyaksikan petani kehilangan lahan garapan yang menjadi tempat ia bergantung hidup juga tak bisa kita banggakan.
Bagaimana bisa kita menjelaskan arah kemajuan di tengah-tengah kondisi hidup yang memprihatinkan, dari sebagian masyarakat petani yang baru saja kehilangan tanahnya? Jelaslah bagi mereka hal ini merupakan suatu malapetaka besar, di mana mereka mesti kehilangan sumber mata pencaharian untuk -apa yang sering kita dengar sebagai- “memajukan kepentingan umum“. Untuk bertahan hidup, mereka mesti beralih profesi menuju dunia kerja non-pertanian. Bila tetap pada profesi tani, mereka mesti rela menjadi buruh tani yang menjual tenaganya. Sebab, kini mereka tak lagi memiliki lahan sebagai alat produksinya sendiri.
Dengan begitu, UUPA yang menjadi tameng kunci bagi petani untuk mendapatkan hak dan kepemilikannya atas tanah untuk kesejahteraan hidupnya mesti diakui kini tak berkutik di hadapan kepentingan negara, atau bahkan swasta. Tanah untuk rakyat yang menggarap, dan semestinya digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat -sebagaimana yang tertuang dalam UU tersebut-kini seolah menjadi aturan kosong tak bermakna. Sebab, ia lagi-lagi tak mampu menunjukkan eksistensinya dengan menyelamatkan kepentingan petani yang menjadi subjek yang ia bela.
Untuk menghargai peran petani, Tan Malaka pernah mengungkapkan dalam bukunya ‘Madilog’, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan terlalu pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul, dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”. Bahkan Sukarno pun pernah beretorika “Pangan adalah pilar hidup matinya sebuah bangsa”. Namun pernahkah kita berterima kasih kepada para petani pejuang pangan. Keramahannya yang putih, ketulusannya yang tak pernah menagih. Mari tanyakan pada rumput yang bergoyang.
Penulis:
Amir Mahfut
228221013