Perkembangan Internasional

Pengaruh Media Terhadap Kebijakan Publik Opini dan Peradilan Pidana di Indonesia dengan Perspektif Perbandingan di Irlandia

Paparan media telah meningkat karena globalisasi dan gaya hidup modern. Penonton yang besar memberdayakan media untuk mendapatkan kepercayaan publik. Oleh karena itu, sebagai platform yang kuat dengan tanggung jawab kritis, media massa harus memiliki standar akuntabilitas yang tinggi. Sistem peradilan pidana memiliki tujuan untuk membawa penjahat ke pengadilan, namun layanannya dapat melemah dan diremehkan jika publik tidak mengenalinya secara akurat. Tulisan ini akan membedah bagaimana dampak media di yurisdiksi Indonesia dengan perspektif komparatif status quo di Irlandia, dengan menggunakan pendekatan sosio-legal.

Penerapan Restorative Justice dalam Reserse Kriminal Indonesia: Sebuah Studi Kasus

Media di Indonesia telah dikaitkan dengan kurangnya subjektivitas dalam kacamata beberapa akademisi. Herlambang Wiratraman, seorang dosen hukum pers Indonesia, menyatakan bahwa euforia media tentang peralihan transisi dari otoriter ke demokrasi masih belum memenuhi harapannya karena kecenderungan media untuk lebih mengedepankan agenda politik daripada memantau kinerja penegakan hukum. Sebaliknya, sebagian orang percaya bahwa peran media telah berkontribusi positif dalam mengungkap pelanggaran-pelanggaran di pemerintahan. Fungsi pengawasan media memungkinkan terjadinya penilaian publik.

Pada prinsipnya, kebijakan pidana harus mengacu pada supremasi hukum. Oleh karena itu, seringkali berbenturan dengan opini publik yang dibentuk oleh media. Namun, opini publik ini membawa tekad yang dapat mereformasi bagian-bagian fundamental dari sistem peradilan pidana. Salah satu contoh terkini adalah penerapan restorative justice dalam penegakan pidana.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP), merupakan modifikasi hukum kolonial Belanda yang belum pernah direvisi. Secara lex generali, undang-undang ini seringkali gagal mengakomodir kebutuhan korban dan pelaku karena filosofi hukumnya yang positivis. Ini adalah undang-undang yang berorientasi pada hukuman yang tidak memberikan mekanisme alternatif penyelesaian sengketa pidana. Namun, gerakan untuk menerapkan keadilan restoratif tidak dimulai sampai kasus Minah muncul. Minah adalah seorang lansia ekonomi rendah yang mencuri 3 buah kakao yang hanya setara dengan Rp. 30.000 (2 Euro) dari peternakan pabrik. Dia kemudian mengembalikan polong dan secara terbuka meminta maaf atas tindakannya, namun pabrik masih melanjutkan kasus itu ke pengadilan. Seperti yang diharapkan, hakim pengadilan negeri memutuskan dia bersalah atas pencurian dengan Pasal 362 KUHP Indonesia dan menjatuhkan hukuman 1 bulan 15 hari penjara. Putusan dengan pendekatan by letter of the law ini menuai kecaman keras dari semua pihak. Seluruh proses persidangan disiarkan secara nasional dan terus-menerus dibicarakan dalam berita. Sistem pidana kehilangan akuntabilitasnya di mata masyarakat karena adanya persepsi bahwa penegakan hukum mengorbankan keadilan dan pemerataan untuk kepastian hukum yang mutlak. Penahanan Minah secara efektif membawa keadilan restoratif ke dalam percakapan. Warga menjadi lebih sadar dan teredukasi tentang topik ini dengan mengonsumsi berita dari media. Publik mulai menyadari bahwa hukuman pidana konvensional tidak dapat menyelesaikan semua kasus dengan baik dan membutuhkan sumber daya yang mahal, dan kekhawatiran publik ini juga diberitahukan kepada pemerintah melalui media.

Tuntutan tersebut membuahkan hasil pada tahun 2014, meskipun keadilan restoratif hanya dapat diterapkan dalam proses pidana anak pada saat itu. Bappenas mengajak akademisi dan lembaga swadaya masyarakat untuk merencanakan penerapan restorative justice yang lebih luas di tahun 2017. Terakhir, lahirnya Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Reformasi Proses Penal bagaimana pidana Penegakan hukum harus dilakukan dan mengesahkan pelaksanaan restorative justice sepanjang hal itu harus menjadi pendekatan yang diprioritaskan dalam penyelesaian sengketa pidana dengan kualifikasi formal dan material tertentu. Contoh ini membuktikan bahwa media tidak hanya dapat meningkatkan penerimaan publik terhadap hukuman yang keras, tetapi juga mengarahkannya untuk mempromosikan cara-cara alternatif untuk menyelesaikan kasus.

Meski dinilai terlalu dini untuk menyebut implementasi restorative justice dalam sistem peradilan pidana Indonesia sebagai sebuah keberhasilan, namun terobosan ini menunjukkan kemajuan positif untuk akses keadilan yang lebih baik. Pendokumentasian dan publisitas kasus Minah bersama kasus-kasus lain oleh media berhasil menarik perhatian publik dan menjadikannya sebagai kekuatan untuk mendorong para pengambil kebijakan untuk mengambil tindakan. Segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran HAM, dan putusan yang tidak adil serta bentuk pelanggaran hukum lainnya akan dilaporkan secara transparan kepada publik. Jadi, hakim, pengacara, pembuat undang-undang, penuntut umum, korban, pelaku, saksi, dan pakar akademis lebih bertanggung jawab untuk memainkan peran mereka dalam sistem. Selain itu, penegakan hukum juga menjadi penerima manfaat dari fenomena media. Liputan media yang luas dan teratur digunakan sebagai lensa pemantauan di masyarakat dan di antara personel otoritas. Keunggulan lain yang tidak bisa dipungkiri adalah media telah menghubungkan jalur komunikasi antara polisi dan warga. Sebagian besar kegiatan humas polisi dilakukan melalui pers untuk menarik keterlibatan masyarakat yang tinggi. Oleh karena itu, di antara keduanya ada hubungan timbal balik sebagaimana mestinya.

Perspektif Perbandingan: Efek Media Irlandia

Status quo di Irlandia memberikan dimensi unik pada diskusi. Perlu diingat bahwa Irlandia dipandang sebagai negara dengan tingkat kejahatan yang relatif rendah. Dugaan ini didukung oleh fakta bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa;

“Jumlah kejahatan yang tercatat pada tahun 2020 turun tajam dalam kategori Perampokan dan pelanggaran terkait (turun 5.810 atau 34,7%), Pencurian dan pelanggaran terkait (turun 16.684 atau 24,5%), dan Perampokan, pemerasan, dan pembajakan. pelanggaran (turun 536, atau 22,9%), jika dibandingkan dengan 2019”

Namun, masalah peradilan pidana terus menjadi perhatian serius masyarakat, meskipun kinerjanya sangat baik. Michael O’Connell memberikan pendapat hukumnya tentang konflik ini yang menjelaskan bagaimana sistem peradilan pidana telah disalahartikan oleh bias media seperti:

  1. liputan luar biasa pada pelanggaran serius hanya terjadi di luar Irlandia
  2. eksklusivitas artikel berita dan laporan pelanggaran serius saja
  3. kesalahan karakterisasi kerentanan korban dan pelaku
  4. nada putus asa dalam artikel surat kabar terhadap perkembangan sistem peradilan pidana.

Sesuai dengan bias media nomor 4 O’Connell, Lynsey Black berpendapat bahwa media telah mengusulkan stereotip gender palsu tentang peran perempuan dalam sistem peradilan pidana. Dia menambahkan bahwa kejahatan telah dikomersialkan dan menjadi konten liputan yang diprioritaskan di kalangan pasar pers. Harus diingat bahwa banyak analisis akademis kritis tidak akan mengurangi nilai media. Dalam pembelaan media umum, studi Emily Werner menolak anggapan bahwa penilaian penonton terhadap penjahat dapat dengan mudah diubah oleh konsumsi berita mereka. Namun, karena survei ini dilakukan di AS, hasilnya tidak dapat mewakili situasi di Irlandia. Sistem hukum Irlandia memungkinkan media memiliki akses lebih langsung untuk berkontribusi pada perubahan kebijakan melalui opini publik. Efek efektif baru-baru ini dari media dapat dilihat dalam proses referendum aborsi. Pergeseran dari nilai konservatif ke liberal di masyarakat tidak dapat disangkal didukung oleh media. Ini memperkenalkan konsep aborsi dan mempromosikan hak-hak perempuan untuk menentukan nasib sendiri. Hasil jajak pendapat berhasil menghasilkan amandemen konstitusi yang juga mereformasi peraturan pidana yang lebih rendah. O’Connell menyebut sifat situasi ini sebagai efek kumulatif media.

Ucapan penutup

Kemampuan untuk memberikan tanggapan segera terhadap masalah kriminal adalah tujuan yang bermanfaat yang disajikan media kepada publik. Tekanan yang cukup yang datang dengan opini publik telah memberdayakan peran media. Contoh baru-baru ini dari efek yang kuat ini berkontribusi pada integrasi keadilan restoratif dalam proses hukum Indonesia. Apalagi restorative justice rencananya akan diatur dalam KUHP Indonesia yang direvisi. Sementara di Irlandia di mana suara publik melalui referendum membawa bobot sebagai anggota parlemen, media memiliki akses lebih langsung ke kebijakan peradilan pidana. Arah konstitusi yang merupakan esensi hukum pidana dapat diputuskan di tangan khalayak media. Oleh karena itu, harus dipahami bahwa media tetap menjadi saluran kontrol sosial. dan alat penguatan persepsi publik terlepas dari kekurangan dan citra buruknya.

Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Johnsampe0@gmail.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button